KATEGORI: SHALAT
ULAMA: SYAIKH IBNU BAZ
Pertanyaan:
Saat ini, banyak kaum Muslimin, bahkan sebagian penuntut ilmu (syariah), yang
menyepelekan shalat berjamaah. Mereka beralasan bahwa sebagian ulama berpendapat
bahwa shalat berjamaah itu tidak wajib. Bagaimana hukum berjamaah itu sendiri? Dan
nase-hat apa yang akan Syaikh sampaikan kepada mereka?
Jawaban:
TIDAK DIRAGUKAN LAGI, BAHWA SHALAT BERJAMAAH BERSAMA KAUM MUSLIMIN DI
MASJID, HUKUMNYA WAJIB, DEMIKIAN MENURUT PENDAPAT TERKUAT DARI KEDUA
PENDAPAT PARA ULAMA. SHALAT JAMAAH ITU WAJIB ATAS SETIAP PRIA YANG MAMPU DAN
MENDENGAR ADZAN, BERDASARKAN SABDA NABI -SHOLLALLAAHU'ALAIHI WASALLAM-,
.مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِ، فَلاَ صَلاَةَ لَهُ إِلاَّ مِنْ عُذْرٍ
"Barangsiapa mendengar adzan, lalu ia tidak datang (ke masjid) maka tak ada shalat
baginya, (tidak diterima shalatnya) kecuali karena udzur (halangan syar'i)."(Dikeluarkan
oleh Ibnu Majah (792), ad-Daru Quthni (1/421, 422), Ibnu Hibban (29064), al-Hakim
(1/246) dengan sanad shahih).
Ibnu Abbas -rodliallaahunahu- pernah ditanya tentang udzur tersebut, lalu ia menjawab,
"Rasa takut (suasana tidak aman) atau sakit (penyakit)."
Dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah -rodliallaahunahu- dari Nabi
-shollallaahu'alaihi wasallam- bahwasanya telah datang kepada beliau seorang laki-laki
buta lalu berkata, "Wahai Rasulullah, tidak ada orang yang menuntunku pergi ke masjid.
Apakah aku punya rukhshah untuk shalat di rumahku?" kemudian beliau bertanya,
.فَأَجِبْ :نَعَمْ، قَالَ :هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلاَةِ؟ قَالَ
"APAKAH ENGKAU MENDENGAR SERUAN UNTUK SHALAT?" IA MENJAWAB, "YA", BELIAU
BERKATA LAGI, "KALAU BEGITU, PENUHILAH (PANGGILAN ADZAN TERSEBUT)."(HR. MUSLIM,
KITAB AL-MASAJID (653)).
DALAM ASH-SHAHIHAIN (BUKHARI-MUSLIM), DARI ABU HURAIRAH
-RODLIALLAAHU'ANHU- DARI NABI -SHOLLALLAAHU'ALAIHI WASALLAMBAHWASANYA
BELIAU BERSABDA,
لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِالصَّلاَةِ فَتُقَامَ ثُمَّ آمُرَ رَجُلاً يَؤُمُّ النَّاسَ ثُمَّ أَنْطَلِقَ بِرِجَالٍ مَعَهُ مْ
.حُزَمٌ مِنْ حَطَبٍ إِلَى قَوْمٍ لاَ يَشْهَدُوْنَ الصَّلاَةَ فَأَحْرِقَ عَلَيْهِمْ بُيُوْتَهُمْ
"Sungguh aku sangat ingin memerintahkan shalat untuk didirikan, lalu aku perintahkan
Sumber: http://www.fatwa-ulama.com
seorang laki-laki untuk mengimami orang-orang, kemudian aku berangkat bersama
beberapa orang laki-laki dengan membawa beberapa ikat kayu bakar kepada
orang-orang yang tidak ikut shalat, lalu aku bakar rumah-rumah mereka dengan api
tersebut." (Al-Bukhari, kitab al-Khushumat (2420), Muslim, kitab al-Masajid (651)).
Seluruh hadits di atas dan hadits-hadits lain yang semakna dengannya, menunjukkan
wajibnya shalat berjamaah di masjid bagi kaum laki-laki. Dan orang yang tidak
menghadirinya, berhak untuk mendapat hukuman agar ia jera. Sekiranya shalat
berjamaah di masjid itu tidak wajib, maka orang yang meninggalkannya tentu tidak
berhak mendapatkan hukuman. Sebab shalat di masjid itu adalah termasuk syiar Islam
terbesar, penyebab perkenalan antar Muslimin, dan dengan berjamaah akan tercapai kasih
sayang dan hilang kebencian.
Juga orang yang meninggalkannya, menyerupai sifat-sifat kaum munafiqin. Jadi yang
wajib dilakukan adalah bersikap hati-hati (dari meninggalkan shalat berjamaah). Dan tak
ada arti dari perbedaan pendapat dalam masalah ini, karena seluruh pendapat yang
bertentangan dengan dalil-dalil syar'iyah wajib untuk dibuang dan tidak boleh dipegang!
Berdasarkan firman Allah -subhanahu wata'ala-,
"Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya." (Surah An-Nisa': 59).
Dalam ayat lain disebutkan,
"Tentang sesuatu apa pun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada
Allah."(Surah asy-Syuraa: 10).
Dan dalam shahih Muslim dari Abdullah bin Mas'ud -rodliallaahu'anhu-, bahwasanya
beliau berkata, "Sungguh kami melihat para sahabat di antara kami, tak ada yang
meninggalkannya (yaitu shalat jamaah), kecuali munafiq, atau orang sakit.
Sampai-sampai ada seseorang didatangkan (ke masjid) dipapah di antara dua orang untuk
diberdirikan di tengah-tengah shaf."
Tak diragukan lagi, bahwa hal ini menunjukkan betapa per-hatian yang begitu besar dari
para sahabat terhadap shalat jamaah di masjid, sampai-sampai mereka terkadang
mengantarkan seseorang yang sakit dengan dipapah di antara dua orang agar bisa shalat
berjamaah. Semoga Allah -subhanahu wata'ala- meridhai semua perbuatan mereka. Dan
hanya Allahlah yang berkuasa memberi petunjuk.
Sumber:
Fatawa Muhimmah Tata’allaqu Bish Shalah, hal. 56-58, Syaikh Ibnu Baz. Disalin dari
buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, penerbit Darul Haq.
Sugeng Rawuh
BLog Temen
Minggu, 07 November 2010
Hukum Menyepelekan Shalat Berjamaah
Diposting oleh Faizal Afnan di 22.02 0 komentar
Label: artikel islam
Hukum Merokok Menurut Syariat
Kategori: Jual Beli - Riba
Ulama: Syaikh Ibnu Utsaimin
Pertanyaan:
Apa hukum merokok menurut syari’at, berikut dalil-dalil yang mengharamkannya?
Jawaban:
Merokok haram hukumnya berdasarkan makna yang terindikasi dari zhahir ayat
Al-Qur’an dan As-Sunnah serta i'tibar (logika) yang benar.
Dalil dari Al-Qur’an adalah firmanNya:
"Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan."
(Al-Baqarah:195).
Maknanya, janganlah kamu melakukan sebab yang menjadi kebinasaanmu.
Wajhud dilalah (Aspek pendalilan) dari ayat tersebut adalah bahwa merokok termasuk
perbuatan mencampakkan diri sendiri ke dalam kebinasaan.
Sedangkan dalil dari As-Sunnah adalah hadits yang berasal dari Rasulullah secara shahih
bahwa beliau melarang menyia-nyiakan harta. Makna menyia-nyiakan harta adalah
mengalokasi-kannya kepada hal yang tidak bermanfaat. Sebagaimana dimaklumi, bahwa
mengalokasikan harta dengan membeli rokok adalah termasuk pengalokasiannya kepada
hal yang tidak bermanfaat bahkan pengalokasian kepada hal yang di dalamnya terdapat
kemudharatan.
Dalil dari As-Sunnah yang lainnya, sebagaimana hadits dari Rasulullah yang berbunyi:
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
".(orang lain)bahaya dan juga tidak boleh membahayakan (menimbulkan)Tidak boleh "
1
at, baik’ dalam syari (tidak berlaku)adalah ditiadakan (dharar) Jadi, menimbulkan bahaya
Sebagaimana dimaklumi pula, bahwa .bahayanya terhadap badan, akal ataupun harta
.merokok adalah berbahaya terhadap badan dan harta
jukkan keharaman merokok- yang benar, yang menun (logika) tibar’Adapun dalil dari i
si perokok mencampakkan dirinya sendiri ke (dengan perbuatannya itu)adalah karena
Orang .dalam hal yang menimbulkan hal yang berbahaya, rasa cemas dan keletihan jiwa
1 HR. Ibnu Majah, kitab al-Ahkam (2340)
Sumber: http://www.fatwa-ulama.com
Alangkah .terjadi terhadap dirinya sendiri yang berakal tentunya tidak rela hal itu
.tragisnya kondisi dan demikian sesak dada si perokok, bila dirinya tidak menghisapnya
ibadah lainnya karena hal itu- Alangkah berat dirinya berpuasa dan melakukan ibadah
alangkah berat dirinya berinteraksi dengan Bahkan, .menghalangi dirinya dari merokok
orang yang shalih karena tidak mungkin mereka membiarkan rokok mengepul di- orang
Karenanya, anda akan melihat dirinya demikian tidak karuan bila .hadapan mereka
.erekaduduk bersama mereka dan berinteraksi dengan m-duduk
.tersebut menunjukkan bahwa merokok adalah diharamkan hukumnya i'tibar Semua
Karena itu, nasehat saya buat saudaraku kaum muslimin yang didera oleh kebiasaan
menghisapnya agar memohon pertolongan kepada Allah dan mengikat tekad untuk
sebab di dalam tekad yang tulus disertai dengan memohon pertolongan meninggalkannya
Nya dan menghindari siksaanNya; semua itu- kepada Allah serta mengharap pahala
.bantu di dalam upaya meninggalkannya tersebut-adalah amat mem
mi tidak menemukan nash, baik di dalams esungguhnya ka"Jika ada orang yang berkilah,
".Nya perihal haramnya merokok itu sendiri-Kitabullah ataupun Sunnah Rasul
Sunnah terdiri dari dua- nash Kitabullah dan As-Jawaban atas statemen ini, bahwa nash
:jenis
1.Satu jenis yang dalil-dalilnya bersifat umum seperti adh-Dhawabith
(ketentuan-ketentuan) dan kaidah-kaidah di mana mencakup rincian-rincian
yang banyak sekali hingga Hari Kiamat.
2.Satu jenis lagi yang dalil-dalilnya memang diarahkan kepada sesuatu itu sendiri
secara langsung.
Sebagai contoh untuk jenis pertama adalah ayat Al-Qur’an dan dua buah hadits yang telah
kami singgung di atas yang menunjukkan secara umum keharaman merokok sekalipun
tidak secara langsung diarahkan kepadanya.
Sedangkan untuk contoh jenis kedua adalah firmanNya,
"Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang
disembelih atas nama selain Allah." (Al-Ma'idah:3).
Dan firmanNya,
"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, ( berkorban
untuk ) berhala, mengundi nasib de-ngan panah, adalah perbuatan keji termasuk
perbuatan syetan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu." (Al-Ma'idah:90).
Jadi, baik nash-nash tersebut termasuk ke dalam jenis perta-ma atau jenis kedua, maka ia
bersifat keniscayaan (keharusan) bagi semua hamba Allah karena dari sisi pendalilan
mengindika-sikan hal itu.
Sumber:
Program Nur 'Alad Darb, dari fatwa Syaikh Ibn Utsaimin.
Diposting oleh Faizal Afnan di 22.02 0 komentar
Label: artikel islam
Hukum Ulang Tahun
Kategori: Bid'ah
Ulama: Syaikh Ibnu Baz
Pertanyaan:
Apa hukum perayaan setelah setahun atau dua tahun atau lebih umpamanya, atau kurang,
sejak kelahiran seseorang, yaitu yang disebut dengan istilah ulang tahun atau tolak bala.
Dan apa hukum menghadiri pesta perayaan-perayaan tersebut. Jika seseo-rang
diundang menghadirinya, apakah wajib memenuhinya atau tidak? Kami mohon
jawabannya, semoga Allah membalas Syaikh dengan balasan pahala.
Jawaban:
Dalil-dalil syari'at dari Al-Kitab dan As-Sunnah telah menun-jukkan bahwa peringatan
hari kelahiran termasuk bid'ah yang diada-adakan dalam agama dan tidak ada asalnya
dalam syari'at yang suci, maka tidak boleh memenuhi undangannya karena hal itu
merupakan pengukuhan terhadap bid'ah dan mendorong pelaksanaannya. Allah
-subhanahu wata'ala- telah berfirman,
"Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yangmensyari'atkan untuk
mereka agama yang tidak diizinkan Allah." (Asy-Syura: 21).
Dalam ayat lain disebutkan,
"Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syari'at (pera-turan) dari urusan
agama itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang
yang tidak mengetahui. Sesung-guhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat menolak dari
kamu sedikitpun dari (siksaan) Allah. Dan sesungguhnya orang-orang yang zhalim itu
sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain, dan Allah adalah pelindung
orang-orang yang bertaqwa."(Al-Jatsiyah: 18-19).
Dalam ayat lainnya lagi disebutkan,
"Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu dan jangan-lah kamu mengikuti
pemimpin-pemimpin selainNya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (dari
padanya)." (Al-A'raf: 3).
Diriwayatkan dari Rasulullah -shollallaahu'alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda,
.مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
"Barangsiapa yang melakukan suatu amal yang tidak kami perin-tahkan maka ia
tertolak."8
8 Dikeluarkan oleh Muslim dalam Al-Aqdhiyah (18-1718). Al-Bukhari menganggapnya mu’allaq dalam Al-Buyu’ dan Al-I’tisham.
Sumber: http://www.fatwa-ulama.com
Dalam hadits lainnya beliau bersabda,
خَيْرُ الْحَدِيْثِ آِتَابُ اللهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ a .وَشَرُّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَآُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
"Sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah, sebaik-baik tuntunan adalah tuntunan
Muammmad -shollallaahu'alaihi wasallam, seburuk-buruk perkara adalah hal-hal baru
yang diada-adakan dan setiap hal baru adalah sesat."9
Dan masih banyak lagi hadits-hadits lain yang semakna.
Di samping perayaan-perayaan ini termasuk bid'ah yang tidak ada asalnya dalam syari'at,
juga mengandung tasyabbuh (menyerupai) kaum Yahudi dan Nashrani yang biasa
menyelengga-rakan peringatan hari kelahiran, sementara Nabi -shollallaahu'alaihi
wasallam telah mem-peringatkan agar tidak meniru dan mengikuti cara mereka,
seba-gaimana sabda beliau,
قُلْنَا يَا رَسُوْلَ اللهِ الْيَهُوْدُ .لَتَتَّبِعَنَّ سُنَنَ مَنْ آَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا شِبْرًا وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوْا جُحْرَ ضُبٍّ تَبَعْتُمُوْهُمْ
.قَالَ فَمَنْ .وَالنَّصَارَى
"Kalian pasti akan mengikuti kebiasaan-kebiasaan orang-orang sebelum kalian sejengkal
dengan sejengkal dan sehasta dengan sehasta, sampai-sampai, seandainya mereka
masuk ke dalam sarang biawak pun kalian mengikuti mereka." Kami katakan, "Ya
Rasulullah, itu kaum Yahudi dan Nashrani?" Beliau berkata, "Siapa lagi."10
Makna ‘siapa lagi’ artinya mereka itulah yang dimaksud dalamperkataan ini. Kemudian
dari itu, dalam hadits lain beliau ber-sabda,
.مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
"Barangsiapa menyerupai suatu kaum, berarti ia termasuk golonganmereka."11
Dan masih banyak lagi hadits-hadits lain yang semakna.
Semoga Allah menunjukkan kita semua kepada yang diridhaiNya.
Sumber:
MAJMU' FATAWA WA MAQALAT MUTANNAWI'AH, JUZ 4, HAL. 283, SYAIKH IBNU BAZ.
DISALIN DARI BUKU FATWA-FATWA TERKINI JILID 2, PENERBIT DARUL HAQ.
Diposting oleh Faizal Afnan di 00.47 0 komentar
Label: fiqih
Amal Dikatakan Sebagai Bidah
Kategori: Bid'ah
Ulama: Syaikh Ibnu Baz
Pertanyaan:
Bilakah suatu amal dianggap bidah dalam syariat nan suci ini, dan apakah sebutan
bidah hanya berlaku pada bidang ibadah saja atau mencakup ibadah dan muamalah?
Jawaban:
Bid'ah dalam terminologi syari'at adalah setiap ibadah yang diada-adakan oleh manusia
tapi tidak ada asalnya dalam Al-Qur'an maupun As-Sunnah, demikian ini berdasarkan
sabda Rasulullah -shollallaahu'alaihi wasallam-,
"Barangsiapa membuat sesuatu yang baru dalam urusan kami (dalam Islam) yang tidak
terdapat (tuntunan) padanya, maka ia tertolak."(Disepakati keshahihannya: Al-Bukhari
dalam Ash-Shulh (2697). Muslim dalam Al-Aqdhiyah (1718)).
Dan sabda beliau,
"Barangsapa melakukan suatu amal yang tidak kami perintahkan maka ia
tertolak"(Al-Bukhari menganggapnya mu’allaq dalam Al-Buyu’ dan Al-I’tisham.
Disambungkan oleh Muslim dalam Al-Aqdhiyah (18-1718)).
Pengertian bid'ah dalam terminologi bahasa adalah setiap hal baru yang tidak seperti
sebelumnya, hanya saja tidak berkaitan dengan hukum larangan jika bukan merupakan
hal baru dalam agama. Sedangkan dalam mu'amalat, jika hal baru itu sesuai dengan
syari'at maka termasuk legal secara syar'i, tapi jika menyelisihinya maka merupakan
perbuatan batil, dan hal baru dalam mu’amalat tidak disebut bid’ah dalam lingkup syari'at
karena tidak termasuk ibadah.
Sumber:
Majalah Ad-Da'wah, tanggal 7/11/1410 H. nomor 1344, Syaikh Ibnu Baz. Disalin dari
buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 2, penerbit Darul Haq.
Diposting oleh Faizal Afnan di 00.47 0 komentar
Label: fiqih
Adakah Bidah Hasanah?
Kategori: Bidah
Ulama: Syaikh Ibnu Utsaimin
Pertanyaan:
Apa pengertian bid'ah dan apa kriterianya? Adakah bid’ah hasanah? Lalu apa makna
sabda Nabishollallaahu'alaihi wasallam-,
مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً …
h allA agomeS ?4"…Barangsiapa yang menempuh kebiasaan yang baik di dalam Islam"
.mebalas Syaikh dengan kebaikan
Jawaban:
Pengertian bid'ah secara syar'i intinya adalah beribadah kepada Allah dengan sesuatu
yang tidak disyari'atkan Allah. Bisa juga anda mengatakan bahwa bid'ah adalah
beribadah kepada Allah dengan sesuatu yang tidak ditunjukkan oleh Nabi
-shollallaahu'alaihi wasallam dan tidak pula oleh para Khulafaur Rasyidin. Definisi
pertama disimpulkan dari firman Allah -subhanahu wata'ala-,
"Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari'atkan
untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah."(Asy-Syura: 21).
Sedangkan definisi kedua disimpulkan dari sabda Nabi -shollallaahu'alaihi wasallam,
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاآُمْ وَاْلأُمُوْرَ الْمُحْدَثَاتِ
ur Rasyidin ’Hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafa"
sunnah itu dengan geraham, dan hendaklah- Gigitlah sunnah .njukyang mendapat petu
5".adakan-perkara baru yang diada-kalian menjauhi perkara
Jadi, setiap yang beribadah kepada Allah dengan sesuatu yang tidak disyari’atkan Allah
atau dengan sesuatu yang tidak ditunjukkan oleh Nabi -shollallaahu'alaihi wasallam dan
Khulafa'ur Rasyidin, berarti ia pela-ku bid'ah, baik ibadah itu berkaitan dengan Asma'
Allah dan sifat-sifatNya ataupun yang berhubungan dengan hukum-hukum dan
syari'at-syari'atNya. Adapun perkara-perkara biasa yang mengi-kuti kebiasaan dan tradisi,
maka tidak disebut bid'ah dalam segi agama walaupun disebut bid’ah secara bahasa. Jadi
yang demiki-an ini bukan bid'ah dalam agama dan tidak termasuk hal yang diperingatkan
oleh Rasulullah -shollallaahu'alaihi wasallam. Di dalam agama tidak ada yang disebut
bid'ah hasanah. Adapun sunnah hasanah adalah perbuatan yang sesuai dengan syari'at,
dan hal ini mencakup; seseorang yang memulai melakukan sunnah atau memulai
melakukan suatu amal yang diperintahkan atau kembali melakukannya setelah
meninggalkannya atau melakukan sesuatu yang memang disunnahkan sebagai perantara
pelaksanaan ibadah yang diperintah-kan. Yang demikian ini ada tiga kategori:
4 HR. Muslim dalam Az-Zakah (1017), dan dalam Al-‘Ilm (1017). 5 HR. Abu Dawud dalam As-Sunnah (4607). Ibnu Majah dalam Al-Muqaddimah (42).
Sumber: http://www.fatwa-ulama.com
Pertama: Artinya adalah sunnah secara mutlak, yakni yang memulai suatu amal
yang diperintahkan. Inilah sebab munculnya hadits tersebut, di mana Nabi
-shollallaahu'alaihi wasallam menganjurkan untuk bersedekah kepada
orang-orang yang datang kepada beliau, karena mereka saat itu sedang dalam
kondisi sangat kesulitan, lalu beliau menganjurkan untuk bersedekah. Kemudian
datang seorang laki-laki Anshar dengan membawa sekantong perak yang cukup
berat di tangannya, lalu ia meletakkannya di kediaman Nabi
-shollallaahu'alaihi wasallam, kemudian Nabi -shollallaahu'alaihi wasallam
bersabda,
.مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا
"Barangsiapa yang melakukan sunnah yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya
dan pahala orang-orang yang melakukannya."6
Laki-laki tersebut adalah yang melakukan sunnah karena memulai melakukan amal
tersebut, bukan berarti memulai membuat amalan baru.
Kedua: Sunnah yang ditinggalkan kemudian seseorang melakukannya dan
menghidupkannya. Yang demikian ini disebut melakukan sunnah yang artinya
menghidupkannya, tapi bukan berarti membuat amalan baru yang berasal dari dirinya
sendiri.
Ketiga: Melakukan sesuatu sebagai perantara pelaksanaan perintah yang disyari'atkan,
seperti membangun sekolah, mence-tak buku agama dan sebagainya. Yang demikian ini
bukan berarti beribadah dengan amalan tersebut, akan tetapi amalan tersebut sebagai
perantara untuk melaksanakan perintah yang terkait.
Semua itu termasuk dalam cakupan sabda Nabi -shollallaahu'alaihi wasallam,
.مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا
"Barangsiapa yang melakukan sunnah yang baik dalam Islam, maka baginya pahalanya
dan pahala orang-orang yang melakukannya." 7 Tentang masalah ini telah dibahas
secara luas di kesempatan lain.
Sumber:
Al-Majmu' Ats-Tsamin, juz 1, hal. 29-30, syaikh Ibnu Utsaimin.
Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 2, penerbit Darul Haq.
Diposting oleh Faizal Afnan di 00.43 0 komentar
Label: fiqih