Rabu, 07 November 2018

Bolehkah Menggunakan Wig (Rambut Palsu)?

Kategori: Khusus Wanita
Ulama: Syaikh Ibnu Utsaimin
Pertanyaan:
Bolehkah seorang wanita memakai wig (rambut palsu) untuk mempercantik dirinya atau
untuk menyenangkan suaminya? Apakah ini termasuk di dalam larangan menyambung
rambut dengan rambut yg lain?
Jawaban:
Memakai wig adalah dilarang dan termasuk dalam kategori menyambung rambut dengan
rambut yg lain. Meskipun pada dasarnya (memakai wig) tidak terlihat seperti itu
(menyambung rambut), akan tetapi ia menyebabkan rambut sang wanita terlihat lebih
panjang dari aslinya dan bisa dikategorikan dalam menyambung rambut. Rasulullah
shallallaahu 'alayhi wasallam melaknat orang yang menyambungkan rambut seseorang
dan orang yang meminta rambutnya disambung.
Meskipun demikian, apabila wanita itu tidak memiliki sehelai rambut pun di kepalanya,
misalnya botak, maka ia boleh menggunakan wig untuk menutupi kecacatan tersebut
karena menutupi cacat seperti itu diperbolehkan. Sebagai contoh, Rasulullah shallallaahu
'alayhi wasallam mengizinkan seorang laki-laki yang hidungnya terpotong saat perang
untuk memakai hidung palsu yg terbuat dari emas. Kasus-kasus semacam ini fleksible,
seperti ada pula pertanyaan tentang dibolehkannya operasi plastik untuk 'membetulkan"
hidung yang terlalu kecil, dan sebagainya.
Perlu diperhatikan bahwa mempercantik diri tidak sama dengan menutupi cacat/cela.
Kalau sesuatu itu dilakukan untuk menutup cacat, maka tidak apa-apa. Akan tetapi, jika
tujuannya bukan untuk menutupi cacat, misalnya memakai tato atau mencukur alis, maka
yang seperti ini dilarang. Adapun memakai wig, meskipun si istri mendapat izin dari
suaminya, tetap dilarang, karena termasuk hal-hal yang dilarang oleh Allah.
Sumber:
http://fatwa-online.com/fataawa/womensissues/beautification/bea001/0000206_38.htm
Sumber: http://www.fatwa-ulama.com

Read More......

Sabtu, 07 November 2015

Hukum Asuransi Kendaraan

Kategori: Muamalat
Ulama: Syaikh Ibnu Jibrin
Pertanyaan:
Bagaimana hukum syari’at terhadap asuransi konvensional (komersil), khususnya
asuransi atas mobil (kendaraan)?
Jawaban:
Asuransi konvensional tidak boleh hukumnya berdasarkan syari'at, dalilnya adalah
firmanNya:
"Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu
dengan jalan yang batil." (Al-Baqarah:188).
Dalam hal ini, perusahaan tersebut telah memakan harta-harta para pengasuransi (polis)
tanpa cara yang haq, sebab (biasanya) salah seorang dari mereka membayar sejumlah
uang per bulan de-ngan total yang bisa jadi mencapai puluhan ribu padahal selama
sepanjang tahun, dia tidak begitu memerlukan servis namun mes-kipun begitu, hartanya
tersebut tidak dikembalikan kepadanya.
Sebaliknya pula, sebagian mereka bisa jadi membayar dengan sedikit uang, lalu terjadi
kecelakaan terhadap dirinya sehingga membebani perusahaan secara berkali-kali lipat
dari jumlah uang yang telah dibayarnya tersebut. Dengan begitu, dia telah memakan harta
perusahaan tanpa cara yang haq.
Hal lainnya, mayoritas mereka yang telah membayar asuransi (fee) kepada perusahaan
suka bertindak ceroboh (tidak berhati-hati terhadap keselamatan diri), mengendarai
kendaraan secara penuh resiko dan bisa saja mengalami kecelakaan namun mereka
cepat-cepat mengatakan, "Sesungguhnya perusahaan itu kuat (finansial-nya), dan
barangkali bisa membayar ganti-rugi atas kecelakaanyang terjadi." Tentunya hal itu
berbahaya terhadap (kehidupan) para penduduk karena akan semakin banyaknya
kecelakaan dan angka kematian. Wallahu a'lam.
Sumber:
Al-Lu'lu'ul Makin Min Fatawa Ibn Jibrin, Hal.190,191.
Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 2, penerbit Darul Haq.
Sumber: http://www.fatwa-ulama.com

Read More......

Bersumpah Atas Nama Nabi

KATEGORI: SUMPAH – NADZAR
ULAMA: SYAIKH IBNU BAZ
Pertanyaan:
Sebagian orang sudah terbiasa bersumpah atas nama Nabi -shollallaahu alaihi
wasallam- dan seakan sudah menjadi kebiasaan bagi mereka namun mereka sama sekali
tidak menjadikannya sebagai suatu keyakinan. Apa hukumnya?
Jawaban:
BERSUMPAH ATAS NAMA NABI -SHOLLALLAAHU'ALAIHI WASALLAM- ATAU NAMA
MAKHLUK SELAIN BELIAU MERUPAKAN SUATU KEMUNGKARAN BESAR DAN TERMASUK HAL
YANG DIHARAMKAN DAN BERNUANSA SYIRIK, SEHINGGA TIDAK BOLEH BAGI SEORANGPUN
BERSUMPAH KECUALI ATAS NAMA ALLAH SEMATA.
AL-IMAM IBN ABDIL BARR -RODLIALLAAHU'ANHU- MERIWAYATKAN ADANYA IJMA’
(KONSENSUS) TENTANG TIDAK BOLEHNYA BERSUMPAH ATAS NAMA SELAIN ALLAH.
DEMIKIAN PULA, TELAH TERDAPAT HADITS-HADITS YANG SHAHIH BERASAL DARI NABI
-SHOLLALLAAHU'ALAIHI WASALLAM- YANG MELARANG HAL ITU DAN
MENGKATEGORIKANNYA SEBAGAI KESYIRIKAN SEBAGAIMANA TERDAPAT DALAM KITAB
ASH-SHAHIHAIN DARI NABI -SHOLLALLAAHU'ALAIHI WASALLAM- BAHWASANYA BELIAU
BERSABDA,
إِنَّ اللهَ R يَنْهَاآُمْ أَنْ تَحْلِفُوْا بِآبَائكُمْ؛ فَمَنْ آَانَ حَالِفًا فَلْيَحْلِفْ بِاللهِ أَوْ لِيَصْمُتْ، وَفيِ
" .فَلاَ يَحْلِفْ إِلاَّ بِاللهِ" :لَفْظٍ
"Sesungguhnya Allah -subhanahu wata'ala- melarang kalian bersumpah atas nama
nenek moyang kalian; barangsiapa ingin bersumpah, maka hendaknya bersumpahlah
atas nama Allah atau lebih baik diam."(Al-Bukhari dalam kitab Al-Manaqib (3836);
Muslim dalam kitab Al-Iman (1746)).
Di dalam lafazh lain disebutkan, "Maka janganlah dia bersumpah kecuali atas nama
Allah."
Abu Daud dan At-Tirmidzi telah mengeluarkan dengan sa-nad shahih dari Nabi
-shollallaahu'alaihi wasallam- bahwasanya beliau bersabda,
مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللهِ فَقَدْ آَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ
Barangsiapa yang bersumpah atas nama selain Allah, maka dia telah berbuat kekufuran "
.((1535)Ayman -Nudzur wa Al-Tirmidzi dalam kitab An-At)".atau kesyirikan
hahih bahwasanya beliau bersabda,Demikian pula telah terdapat hadits yang s
مَنْ حَلَفَ بِاْلأَمَانَةِ فَلَيْسَ مِنَّا
kannya dengan Asma- karena mensejajar)Barangsiapa bersumpah atas nama amanat "
Sumber: http://www.fatwa-ulama.com
Abu Daud dalam) ".imak nagnolog kusamret nakub aid akam ,(.Allah dan SifatNya, pent
.((3253)Nudzur -an Ayman wa-kitab al
Oleh .hadits tentang hal tersebut banyak sekali dan sudah pula diketahui-Dan hadits
karena itu, adalah kewajiban bagi seluruh kaum muslimin untuk tidak bersumpah selain
ah atas nama selaina tas nama Allah semata dan tidak boleh bagi siapapun untuk bersump
hadits yang telah disinggung tersebut dan- Allah, siapapun dia berdasarkan hadits
Demikian pula, wajib bagi siapa saja yang sudah terbiasa dengan .hadits selain itu-hadits
teman duduk- temanhati terhadapnya dan melarang keluarganya, -hal itu untuk berhati
orang selain mereka dari melakukan hal itu dalam rangka melaksanakan- serta orang
,-shollallaahu'alaihi wasallam-sabda Nabi
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِ عْ
فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ
Barangsiapa melihat suatu kemungkaran, maka hendaklah dia merubahnya dengan"
a kam ,aynnakukalem upmam kadit aid akij ;(wewenang yang dimilikinya)tangannya
.kukannya, maka melalui hatinyamelalui lisannya dan jika dia juga tidak mampu mela
.((49)Iman -Muslim dalam kitab al)".lemah iman-Dan inilah selemah
Dan bersumpah atas nama selain Allah termasuk perbuatan syirik kecil berdasarkan
g yang hadits terdahulu dan dapat pula menjadi syirik besar bila di dalam hati oran
bersumpah ini tertanam bahwa sesuatu yang dijadikannya sebagai sumpah tersebut
berhak untuk diagungkan sebagaimana haq Allah atas hal itu atau boleh disembah serta
.niat kekufuran lainnya semisal itu-niat
hkan kepada kaum muslimin semuanyaK ita bermohon kepada Allah agar menganugera
keselamatan dari hal itu dan mengaruniakan mereka pemahaman terhadap diennya serta
faktor yang dapat menyebabkan kemurkaan Allah, sesungguhnya Dia- terbebas dari faktor
.Maha Mendengar Lagi Mahadekat
Sumber:
Kitab ad-Da’wah, Juz.II, h.28-29, Dari fatwa Syaikh Bin Baz. Disalin dari buku
Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 2, penerbit Darul Haq.

Read More......

HUKUM PERAYAAN MAULID NABI

KATEGORI: BID'AH
ULAMA: SYAIKH IBNU UTSAIMIN
Pertanyaan:
Apa hukum perayaan hari kelahiran Nabi?
Jawaban:
Pertama: Malam kelahiran Rasulullah -shollallaahu'alaihi wasallam tidak
diketahui secara pasti, tapi sebagian ulama kontemporer memastikan bahwa itu
pada malam kesembilan Rabi'ul Awal, bukan malam kedua belasnya. Kalau
demikian, perayaan pada malam kedua belas tidak benar menurut sejarah.
Kedua:Dipandang dari segi syari'at, perayaan itu tidak ada asalnya. Seandainya
itu termasuk syari'at Allah, tentu Nabi -shollallaahu'alaihi wasallam telah
melakukannya dan telah menyampaikan kepada umatnya, dan seandainya
beliau melakukannya dan menyampaikannya, tentulah syari'at ini akan
terpelihara, karena Allah -subhanahu wata'ala- telah berfirman,
"Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur'an, dan sesungguhnya Kami
benar-benar memeliharanya."(Al-Hijr: 9).
Karena tidak demikian, maka diketahui bahwa perayaan itu bukan dari agama Allah, dan
jika bukan dari agama Allah, maka tidak boleh kita beribadah dengannya kepada Allah
-subhanahu wata'ala- dan mendekatkan diri kepadaNya dengan itu. Untuk beribadah dan
mendekatkan diri kepada Allah, Allah telah menetapkan cara tertentu untuk mencapainya,
yaitu yang diajarkan oleh Rasulullah -shollallaahu'alaihi wasallam, bagaimana mungkin
kita, sebagai hamba biasa, mesti membuat cara sendiri yang berasal dari diri kita untuk
mengantarkan kita mencapainya? Sungguh perbuatan ini merupakan kejahatan terhadap
hak Allah -subhanahu wata'ala- karena kita melaksanakan sesuatu dalam agamaNya yang
tidak berasal dariNya, lain dari itu, perbuatan ini berarti mendustakan firman Allah
-subhanahu wata'ala-,
"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan
kepadamu nikmatKu." (Al-Ma'idah: 3).
Kami ka takan: Perayaan ini, jika memang termasuk kesem-purnaan agama, mestinya
telah ada semenjak sebelum wafatnya Rasulullah -shollallaahu'alaihi wasallam, dan jika
tidak termasuk kesempurnaan agama, maka tidak mungkin termasuk agama, karena Allah
-subhanahu wata'ala- telah berfirman, "Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu
agamamu." (Al-Ma'idah:3). Orang yang mengklaim bahwa ini termasuk ke-sempurnaan
agama dan diadakan setelah wafatnya Rasulullah -shollallaahu'alaihi wasallam, maka
Sumber: http://www.fatwa-ulama.com
ucapannya mengandung pendustaan terhadap ayat yang mulia tadi. Tidak diragukan lagi,
bahwa orang-orang yang menyelenggarakan perayaan hari kelahiran Rasulullah
-shollallaahu'alaihi wasallam hanyalah hendak mengagungkan Rasulullah
-shollallaahu'alaihi wasallam dan menunjukkan kecintaanterhadap beliau serta
membangkitkan semangat yang ada pada mereka. Semua ini termasuk ibadah, mencintai
Rasulullah -shollallaahu'alaihi wasallam juga merupakan ibadah, bahkan tidak sempurna
keimanan seseorang sehingga menjadikan Rasulullah -shollallaahu'alaihi wasallam lebih
dicintai daripada dirinya sendiri, anaknya, orang tuanya dan manusia lainnya.
Mengagung-kan Rasulullah -shollallaahu'alaihi wasallam juga termasuk ibadah.
Demikian juga kecende-rungan terhadap Nabi -shollallaahu'alaihi wasallam termasuk
bagian dari agama karena mengandung kecenderungan terhadap syari’atnya. Jadi,
perayaan hari kelahiran Nabi -shollallaahu'alaihi wasallam untuk mendekatkan diri
kepada Allah dan mengagungkan RasulNya a merupakan ibadah. Karena ini merupakan
ibadah, sementara ibadah itu sama sekali tidak boleh dilakukan sesuatu yang baru dalam
agama Allah yang tidak berasal darinya, maka perayaan hari kelahiran ini bid’ah dan
haram.
Kemudian dari itu, kami juga mendengar, bahwa dalam perayaan ini terdapat
kemungkaran-kemungkaran besar yang tidak diakui syari'at, naluri dan akal, di mana para
pelakunya menden-dangkan qasidah-qasidah yang mengandung ghuluw
(berlebih-lebihan) dalam mengagungkan Rasulullah -shollallaahu'alaihi wasallam,
sampai-sampai memposisikan beliau lebih utama daripada Allah. Na'udzu billah. Di
antaranya pula, kami mendengar dari kebodohan para pelaku-nya, ketika dibacakan kisah
kelahiran beliau, lalu bacaannya itu sampai pada kalimat 'wulida al-musthafa' mereka
semuanya berdiri dengan satu kaki, mereka berujar bahwa ruh Rasulullah
-shollallaahu'alaihi wasallam hadir di situ maka kami berdiri untuk memuliakannya.
Sungguh ini suatu kebodohan. Kemudian dari itu, berdirinya mereka itu tidak termasuk
adab, karena Rasulullah -shollallaahu'alaihi wasallam sendiri tidak menyukai orang
berdiri untuknya. Para sahabat beliau merupakan orang-orang yang paling mencintai dan
memuliakan beliau, tidak pernah berdiri untuk beliau, karena mereka tahu bahwa beliau
tidak menyukainya, padahal saat itu beliau masih hidup. Bagaimana bisa kini
khayalan-khalayan mereka seperti itu?
Sumber:
MAJALAH AL-MUJAHID, EDISI 22, SYAIKH IBNU UTSAIMIN.
DISALIN DARI BUKU FATWA-FATWA TERKINI JILID 2, PENERBIT DARUL HAQ.

Read More......

Minggu, 07 November 2010

Hukum Menyepelekan Shalat Berjamaah

KATEGORI: SHALAT
ULAMA: SYAIKH IBNU BAZ
Pertanyaan:
Saat ini, banyak kaum Muslimin, bahkan sebagian penuntut ilmu (syariah), yang
menyepelekan shalat berjamaah. Mereka beralasan bahwa sebagian ulama berpendapat
bahwa shalat berjamaah itu tidak wajib. Bagaimana hukum berjamaah itu sendiri? Dan
nase-hat apa yang akan Syaikh sampaikan kepada mereka?
Jawaban:
TIDAK DIRAGUKAN LAGI, BAHWA SHALAT BERJAMAAH BERSAMA KAUM MUSLIMIN DI
MASJID, HUKUMNYA WAJIB, DEMIKIAN MENURUT PENDAPAT TERKUAT DARI KEDUA
PENDAPAT PARA ULAMA. SHALAT JAMAAH ITU WAJIB ATAS SETIAP PRIA YANG MAMPU DAN
MENDENGAR ADZAN, BERDASARKAN SABDA NABI -SHOLLALLAAHU'ALAIHI WASALLAM-,
.مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِ، فَلاَ صَلاَةَ لَهُ إِلاَّ مِنْ عُذْرٍ
"Barangsiapa mendengar adzan, lalu ia tidak datang (ke masjid) maka tak ada shalat
baginya, (tidak diterima shalatnya) kecuali karena udzur (halangan syar'i)."(Dikeluarkan
oleh Ibnu Majah (792), ad-Daru Quthni (1/421, 422), Ibnu Hibban (29064), al-Hakim
(1/246) dengan sanad shahih).
Ibnu Abbas -rodliallaahunahu- pernah ditanya tentang udzur tersebut, lalu ia menjawab,
"Rasa takut (suasana tidak aman) atau sakit (penyakit)."
Dalam Shahih Muslim dari Abu Hurairah -rodliallaahunahu- dari Nabi
-shollallaahu'alaihi wasallam- bahwasanya telah datang kepada beliau seorang laki-laki
buta lalu berkata, "Wahai Rasulullah, tidak ada orang yang menuntunku pergi ke masjid.
Apakah aku punya rukhshah untuk shalat di rumahku?" kemudian beliau bertanya,
.فَأَجِبْ :نَعَمْ، قَالَ :هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلاَةِ؟ قَالَ
"APAKAH ENGKAU MENDENGAR SERUAN UNTUK SHALAT?" IA MENJAWAB, "YA", BELIAU
BERKATA LAGI, "KALAU BEGITU, PENUHILAH (PANGGILAN ADZAN TERSEBUT)."(HR. MUSLIM,
KITAB AL-MASAJID (653)).
DALAM ASH-SHAHIHAIN (BUKHARI-MUSLIM), DARI ABU HURAIRAH
-RODLIALLAAHU'ANHU- DARI NABI -SHOLLALLAAHU'ALAIHI WASALLAMBAHWASANYA
BELIAU BERSABDA,
لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِالصَّلاَةِ فَتُقَامَ ثُمَّ آمُرَ رَجُلاً يَؤُمُّ النَّاسَ ثُمَّ أَنْطَلِقَ بِرِجَالٍ مَعَهُ مْ
.حُزَمٌ مِنْ حَطَبٍ إِلَى قَوْمٍ لاَ يَشْهَدُوْنَ الصَّلاَةَ فَأَحْرِقَ عَلَيْهِمْ بُيُوْتَهُمْ
"Sungguh aku sangat ingin memerintahkan shalat untuk didirikan, lalu aku perintahkan
Sumber: http://www.fatwa-ulama.com
seorang laki-laki untuk mengimami orang-orang, kemudian aku berangkat bersama
beberapa orang laki-laki dengan membawa beberapa ikat kayu bakar kepada
orang-orang yang tidak ikut shalat, lalu aku bakar rumah-rumah mereka dengan api
tersebut." (Al-Bukhari, kitab al-Khushumat (2420), Muslim, kitab al-Masajid (651)).
Seluruh hadits di atas dan hadits-hadits lain yang semakna dengannya, menunjukkan
wajibnya shalat berjamaah di masjid bagi kaum laki-laki. Dan orang yang tidak
menghadirinya, berhak untuk mendapat hukuman agar ia jera. Sekiranya shalat
berjamaah di masjid itu tidak wajib, maka orang yang meninggalkannya tentu tidak
berhak mendapatkan hukuman. Sebab shalat di masjid itu adalah termasuk syiar Islam
terbesar, penyebab perkenalan antar Muslimin, dan dengan berjamaah akan tercapai kasih
sayang dan hilang kebencian.
Juga orang yang meninggalkannya, menyerupai sifat-sifat kaum munafiqin. Jadi yang
wajib dilakukan adalah bersikap hati-hati (dari meninggalkan shalat berjamaah). Dan tak
ada arti dari perbedaan pendapat dalam masalah ini, karena seluruh pendapat yang
bertentangan dengan dalil-dalil syar'iyah wajib untuk dibuang dan tidak boleh dipegang!
Berdasarkan firman Allah -subhanahu wata'ala-,
"Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman
kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya." (Surah An-Nisa': 59).
Dalam ayat lain disebutkan,
"Tentang sesuatu apa pun kamu berselisih, maka putusannya (terserah) kepada
Allah."(Surah asy-Syuraa: 10).
Dan dalam shahih Muslim dari Abdullah bin Mas'ud -rodliallaahu'anhu-, bahwasanya
beliau berkata, "Sungguh kami melihat para sahabat di antara kami, tak ada yang
meninggalkannya (yaitu shalat jamaah), kecuali munafiq, atau orang sakit.
Sampai-sampai ada seseorang didatangkan (ke masjid) dipapah di antara dua orang untuk
diberdirikan di tengah-tengah shaf."
Tak diragukan lagi, bahwa hal ini menunjukkan betapa per-hatian yang begitu besar dari
para sahabat terhadap shalat jamaah di masjid, sampai-sampai mereka terkadang
mengantarkan seseorang yang sakit dengan dipapah di antara dua orang agar bisa shalat
berjamaah. Semoga Allah -subhanahu wata'ala- meridhai semua perbuatan mereka. Dan
hanya Allahlah yang berkuasa memberi petunjuk.
Sumber:
Fatawa Muhimmah Tata’allaqu Bish Shalah, hal. 56-58, Syaikh Ibnu Baz. Disalin dari
buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 1, penerbit Darul Haq.

Read More......
template by kendhin
please visit jadipebisnisinternet