Sabtu, 07 November 2015

HUKUM PERAYAAN MAULID NABI

KATEGORI: BID'AH
ULAMA: SYAIKH IBNU UTSAIMIN
Pertanyaan:
Apa hukum perayaan hari kelahiran Nabi?
Jawaban:
Pertama: Malam kelahiran Rasulullah -shollallaahu'alaihi wasallam tidak
diketahui secara pasti, tapi sebagian ulama kontemporer memastikan bahwa itu
pada malam kesembilan Rabi'ul Awal, bukan malam kedua belasnya. Kalau
demikian, perayaan pada malam kedua belas tidak benar menurut sejarah.
Kedua:Dipandang dari segi syari'at, perayaan itu tidak ada asalnya. Seandainya
itu termasuk syari'at Allah, tentu Nabi -shollallaahu'alaihi wasallam telah
melakukannya dan telah menyampaikan kepada umatnya, dan seandainya
beliau melakukannya dan menyampaikannya, tentulah syari'at ini akan
terpelihara, karena Allah -subhanahu wata'ala- telah berfirman,
"Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur'an, dan sesungguhnya Kami
benar-benar memeliharanya."(Al-Hijr: 9).
Karena tidak demikian, maka diketahui bahwa perayaan itu bukan dari agama Allah, dan
jika bukan dari agama Allah, maka tidak boleh kita beribadah dengannya kepada Allah
-subhanahu wata'ala- dan mendekatkan diri kepadaNya dengan itu. Untuk beribadah dan
mendekatkan diri kepada Allah, Allah telah menetapkan cara tertentu untuk mencapainya,
yaitu yang diajarkan oleh Rasulullah -shollallaahu'alaihi wasallam, bagaimana mungkin
kita, sebagai hamba biasa, mesti membuat cara sendiri yang berasal dari diri kita untuk
mengantarkan kita mencapainya? Sungguh perbuatan ini merupakan kejahatan terhadap
hak Allah -subhanahu wata'ala- karena kita melaksanakan sesuatu dalam agamaNya yang
tidak berasal dariNya, lain dari itu, perbuatan ini berarti mendustakan firman Allah
-subhanahu wata'ala-,
"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan
kepadamu nikmatKu." (Al-Ma'idah: 3).
Kami ka takan: Perayaan ini, jika memang termasuk kesem-purnaan agama, mestinya
telah ada semenjak sebelum wafatnya Rasulullah -shollallaahu'alaihi wasallam, dan jika
tidak termasuk kesempurnaan agama, maka tidak mungkin termasuk agama, karena Allah
-subhanahu wata'ala- telah berfirman, "Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu
agamamu." (Al-Ma'idah:3). Orang yang mengklaim bahwa ini termasuk ke-sempurnaan
agama dan diadakan setelah wafatnya Rasulullah -shollallaahu'alaihi wasallam, maka
Sumber: http://www.fatwa-ulama.com
ucapannya mengandung pendustaan terhadap ayat yang mulia tadi. Tidak diragukan lagi,
bahwa orang-orang yang menyelenggarakan perayaan hari kelahiran Rasulullah
-shollallaahu'alaihi wasallam hanyalah hendak mengagungkan Rasulullah
-shollallaahu'alaihi wasallam dan menunjukkan kecintaanterhadap beliau serta
membangkitkan semangat yang ada pada mereka. Semua ini termasuk ibadah, mencintai
Rasulullah -shollallaahu'alaihi wasallam juga merupakan ibadah, bahkan tidak sempurna
keimanan seseorang sehingga menjadikan Rasulullah -shollallaahu'alaihi wasallam lebih
dicintai daripada dirinya sendiri, anaknya, orang tuanya dan manusia lainnya.
Mengagung-kan Rasulullah -shollallaahu'alaihi wasallam juga termasuk ibadah.
Demikian juga kecende-rungan terhadap Nabi -shollallaahu'alaihi wasallam termasuk
bagian dari agama karena mengandung kecenderungan terhadap syari’atnya. Jadi,
perayaan hari kelahiran Nabi -shollallaahu'alaihi wasallam untuk mendekatkan diri
kepada Allah dan mengagungkan RasulNya a merupakan ibadah. Karena ini merupakan
ibadah, sementara ibadah itu sama sekali tidak boleh dilakukan sesuatu yang baru dalam
agama Allah yang tidak berasal darinya, maka perayaan hari kelahiran ini bid’ah dan
haram.
Kemudian dari itu, kami juga mendengar, bahwa dalam perayaan ini terdapat
kemungkaran-kemungkaran besar yang tidak diakui syari'at, naluri dan akal, di mana para
pelakunya menden-dangkan qasidah-qasidah yang mengandung ghuluw
(berlebih-lebihan) dalam mengagungkan Rasulullah -shollallaahu'alaihi wasallam,
sampai-sampai memposisikan beliau lebih utama daripada Allah. Na'udzu billah. Di
antaranya pula, kami mendengar dari kebodohan para pelaku-nya, ketika dibacakan kisah
kelahiran beliau, lalu bacaannya itu sampai pada kalimat 'wulida al-musthafa' mereka
semuanya berdiri dengan satu kaki, mereka berujar bahwa ruh Rasulullah
-shollallaahu'alaihi wasallam hadir di situ maka kami berdiri untuk memuliakannya.
Sungguh ini suatu kebodohan. Kemudian dari itu, berdirinya mereka itu tidak termasuk
adab, karena Rasulullah -shollallaahu'alaihi wasallam sendiri tidak menyukai orang
berdiri untuknya. Para sahabat beliau merupakan orang-orang yang paling mencintai dan
memuliakan beliau, tidak pernah berdiri untuk beliau, karena mereka tahu bahwa beliau
tidak menyukainya, padahal saat itu beliau masih hidup. Bagaimana bisa kini
khayalan-khalayan mereka seperti itu?
Sumber:
MAJALAH AL-MUJAHID, EDISI 22, SYAIKH IBNU UTSAIMIN.
DISALIN DARI BUKU FATWA-FATWA TERKINI JILID 2, PENERBIT DARUL HAQ.

0 komentar:

template by kendhin
please visit jadipebisnisinternet