Jumat, 19 September 2008

SEPUTAR MASALAH PENCANGKOKAN ORGAN TUBUH (1/3)

Dr. Yusuf Qardhawi

PENGANTAR

Fatwa ini saya tulis sejak lama sebagai jawaban terhadap
beberapa pertanyaan seputar masalah pencangkokan organ
tubuh.

Masalah ini merupakan masalah ijtihadiyah yang terbuka
kemungkinan untuk didiskusikan, seperti halnya semua hasil
ijtihad atau pemikiran manusia, khususnya menyangkut
masalah-masalah kontemporer yang belum pernah dibahas oleh
para ulama terdahulu.

Dalam kaitan ini, tidak seorang pun ahli fiqih yang dapat
mengklaim bahwa pendapatnyalah yang benar secara mutlak.
Paling-paling ia hanya boleh mengatakan sebagaimana yang
dikatakan Imam Syafi'i, "Pendapatku benar tetapi ada
kemungkinan salah, dan pendapat orang lain salah tetapi ada
kemungkinan benar."

Karena itu saya menganggap aneh terhadap kesalahpahaman yang
muncul akhir-akhir ini yang menentang seorang juru dakwah
yang agung, Syekh Muhammad Mutawalli asy-Sya'rawi, karena
beliau memfatwakan tidak bolehnya pencangkokan organ tubuh
dengan didasarkan atas pemikiran beliau.

Sebenarnya Syekh Sya'rawi --mudah-mudahan Allah melindungi
beliau-- tidak menulis fatwa tersebut secara bebas dan
detail. Beliau hanya mengatakannya dalam suatu mata acara
televisi, ketika menjawab pertanyaan yang diajukan. Dalam
acara-acara seperti itu sering muncul pertanyaan secara
tiba-tiba, dan jawabannya pun bersifat sepintas lalu, yang
tidak dapat dijadikan acuan pokok sebagai pendapat dan
pandangan ulama dalam persoalan-persoalan besar dan
masalah-masalah yang sukar. Yang dapat dijadikan pegangan
dalam hal ini adalah pendapat yang tertuang dalam bentuk
tulisan, karena pendapat dalam bentuk tulisan mencerminkan
pemikiran yang akurat dari orang yang bersangkutan, dan
tidak ada kesamaran padanya.

Namun demikian, setiap orang boleh diterima dan ditolak
perkataannya, kecuali Nabi saw. Sedangkan seorang mujtahid,
apabila benar pendapatnya maka dia akan mendapatkan dua
pahala; dan jika keliru maka diampuni kesalahannya, bahkan
masih mendapatkan satu pahala.

Wa billahit taufiq, dan kepada-Nya-lah tujuan perjalanan
hidup ini.

PERTANYAAN

Bolehkah seorang muslim mendonorkan sebagian organ tubuhnya
sewaktu dia hidup untuk dicangkokkan pada tubuh orang lain?
Kalau boleh, apakah kebolehannya itu bersifat mutlak ataukah
terikat dengan syarat-syarat tertentu? Dan apa
syarat-syaratnya itu?

Jika mendonorkan organ tubuh itu diperbolehkan, maka untuk
siapa saja donor itu? Apakah hanya untuk kerabat, atau hanya
untuk orang muslim, ataukah boleh untuk sembarang orang?

Apabila mendermakan atau mendonorkan organ tubuh itu
diperbolehkan, apakah boleh memperjualbelikannya?

Bolehkah mendonorkan organ tubuh setelah meninggal dunia?
Apakah hal ini tidak bertentangan dengan keharusan menjaga
kehormatan mayit?

Apakah mendonorkan itu merupakan hak orang bersangkutan
(yang punya tubuh itu) saja? Bolehkah keluarganya
mendonorkan organ tubuh si mati?

Bolehkah negara mengambil sebagian organ tubuh orang yang
kecelakaan misalnya, untuk menolong orang lain?

Bolehkah mencangkokkan organ tubuh orang nonmuslim ke tubuh
orang muslim?

Bolehkah mencangkokkan organ tubuh binatang --termasuk
binatang itu najis, seperti babi misalnya-- ke tubuh seorang
muslim?

Itulah sejumlah pertanyaan yang dihadapkan kepada fiqih
Islam dan tokoh-tokohnya beserta lembaga-lembaganya pada
masa sekarang.

Semua itu memerlukan jawaban, apakah diperbolehkan secara
mutlak, apakah dilarang secara mutlak, ataukah dengan
perincian?

Baiklah saya akan mencoba menjawabnya, mudah-mudahan Allah
memberi pertolongan dan taufiq-Nya.

JAWABAN

BOLEHKAH ORANG MUSLIM MENDERMAKAN ORGAN TUBUHNYA KETIKA DIA
MASIH HIDUP?

Ada yang mengatakan bahwa diperbolehkannya seseorang
mendermakan atau mendonorkan sesuatu ialah apabila itu
miliknya. Maka, apakah seseorang itu memiliki tubuhnya
sendiri sehingga ia dapat mempergunakannya sekehendak
hatinya, misalnya dengan mendonorkannya atau lainnya? Atau,
apakah tubuh itu merupakan titipan dari Allah yang tidak
boleh ia pergunakan kecuali dengan izin-Nya? Sebagaimana
seseorang tidak boleh memperlakukan tubuhnya dengan semau
sendiri pada waktu dia hidup dengan melenyapkannya dan
membunuhnya (bunuh diri), maka dia juga tidak boleh
mempergunakan sebagian tubuhnya jika sekiranya menimbulkan
mudarat buat dirinya.

Namun demikian, perlu diperhatikan disini bahwa meskipun
tubuh merupakan titipan dari Allah, tetapi manusia diberi
wewenang untuk memanfaatkan dan mempergunakannya,
sebagaimana harta. Harta pada hakikatnya milik Allah
sebagaimana diisyaratkan oleh Al-Qur'an, misalnya dalam
firman Allah:

"... dan berikanlah kepada mereka sebagian dari
harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu ..."
(an-Nur: 33)

Akan tetapi, Allah memberi wewenang kepada manusia untuk
memilikinya dan membelanjakan harta itu.

Sebagaimana manusia boleh mendermakan sebagian hartanya
untuk kepentingan orang lain yang membutuhkannya, maka
diperkenankan juga seseorang mendermakan sebagian tubuhnya
untuk orang lain yang memerlukannya.

Hanya perbedaannya adalah bahwa manusia adakalanya boleh
mendermakan atau membelanjakan seluruh hartanya, tetapi dia
tidak boleh mendermakan seluruh anggota badannya. Bahkan ia
tidak boleh mendermakan dirinya (mengorbankan dirinya) untuk
menyelamatkan orang sakit dari kematian, dari penderitaan
yang sangat, atau dari kehidupan yang sengsara.

Apabila seorang muslim dibenarkan menceburkan dirinya ke
laut untuk menyelamatkan orang yang tenggelam, atau masuk ke
tengah-tengah jilatan api untuk memadamkan kebakaran, maka
mengapakah tidak diperbolehkan seorang muslim mempertaruhkan
sebagian wujud materiilnya (organ tubuhnya) untuk
kemaslahatan orang lain yang membutuhkannya?

Pada zaman sekarang kita melihat adanya donor darah, yang
merupakan bagian dari tubuh manusia, telah merata di
negara-negara kaum muslim tanpa ada seorang ulama pun yang
mengingkarinya, bahkan mereka menganjurkannya atau ikut
serta menjadi donor. Maka ijma' sukuti (kesepakatan ulama
secara diam-diam) ini --menurut sebagian fatwa yang muncul
mengenai masalah ini-- menunjukkan bahwa donor darah dapat
diterima syara'.

Didalam kaidah syar'iyah ditetapkan bahwa mudarat itu harus
dihilangkan sedapat mungkin. Karena itulah kita disyariatkan
untuk menolong orang yang dalam keadaan tertekan/terpaksa,
menolong orang yang terluka, memberi makan orang yang
kelaparan, melepaskan tawanan, mengobati orang yang sakit,
dan menyelamatkan orang yang menghadapi bahaya, baik
mengenai jiwanya maupun lainnya.

Maka tidak diperkenankan seorang muslim yang melihat suatu
dharar (bencana, bahaya) yang menimpa seseorang atau
sekelompok orang, tetapi dia tidak berusaha menghilangkan
bahaya itu padahal dia mampu menghilangkannya, atau tidak
berusaha menghilangkannya menurut kemampuannya.

Karena itu saya katakan bahwa berusaha menghilangkan
penderitaan seorang muslim yang menderita gagal ginjal
misalnya, dengan mendonorkan salah satu ginjalnya yang
sehat, maka tindakan demikian diperkenankan syara', bahkan
terpuji dan berpahala bagi orang yang melakukannya. Karena
dengan demikian berarti dia menyayangi orang yang di bumi,
sehingga dia berhak mendapatkan kasih sayang dari yang di
langit.

Islam tidak membatasi sedekah pada harta semata-mata, bahkan
Islam menganggap semua kebaikan (al-ma'ruf) sebagai sedekah.
Maka mendermakan sebagian organ tubuh termasuk kebaikan
(sedekah). Bahkan tidak diragukan lagi, hal ini termasuk
jenis sedekah yang paling tinggi dan paling utama, karena
tubuh (anggota tubuh) itu lebih utama daripada harta,
sedangkan seseorang mungkin saja menggunakan seluruh harta
kekayaannya untuk menyelamatkan (mengobati) sebagian anggota
tubuhnya. Karena itu, mendermakan sebagian organ tubuh
karena Allah Ta'ala merupakan qurbah (pendekatan diri kepada
Allah) yang paling utama dan sedekah yang paling mulia.

Kalau kita katakan orang hidup boleh mendonorkan sebagian
organ tubuhnya, maka apakah kebolehan itu bersifat mutlak
atau ada persyaratan tertentu?

Jawabannya, bahwa kebolehannya itu bersifat muqayyad
(bersyarat). Maka seseorang tidak boleh mendonorkan sebagian
organ tubuhnya yang justru akan menimbulkan dharar,
kemelaratan, dan kesengsaraan bagi dirinya atau bagi
seseorang yang punya hak tetap atas dirinya.

Oleh sebab itu, tidak diperkenankan seseorang mendonorkan
organ tubuh yang cuma satu-satunya dalam tubuhnya, misalnya
hati atau jantung, karena dia tidak mungkin dapat hidup
tanpa adanya organ tersebut; dan tidak diperkenankan
menghilangkan dharar dari orang lain dengan menimbulkan
dharar pada dirinya. Maka kaidah syar'iyah yang berbunyi:
"Dharar (bahaya, kemelaratan, kesengsaraan, nestapa) itu
harus dihilangkan," dibatasi oleh kaidah lain yang berbunyi:
"Dharar itu tidak boleh dihilangkan dengan menimbulkan
dharar pula."

Para ulama ushul menafsirkan kaidah tersebut dengan
pengertian: tidak boleh menghilangkan dharar dengan
menimbulkan dharar yang sama atau yang lebih besar
daripadanya.

Karena itu tidak boleh mendermakan organ tubuh bagian luar,
seperti mata, tangan, dan kaki. Karena yang demikian itu
adalah menghilangkan dharar orang lain dengan menimbulkan
dharar pada diri sendiri yang lebih besar, sebab dengan
begitu dia mengabaikan kegunaan organ itu bagi dirinya dan
menjadikan buruk rupanya.

Begitu pula halnya organ tubuh bagian dalam yang berpasangan
tetapi salah satu dari pasangan itu tidak berfungsi atau
sakit, maka organ ini dianggap seperti satu organ.

Hal itu merupakan contoh bagi yang dharar-nya menimpa salah
seorang yang mempunyai hak tetap terhadap penderma (donor),
seperti hak istri, anak, suami, atau orang yang berpiutang
(mengutangkan sesuatu kepadanya).

Pada suatu hari pernah ada seorang wanita bertanya kepada
saya bahwa dia ingin mendonorkan salah satu ginjalnya kepada
saudara perempuannya, tetapi suaminya tidak
memperbolehkannya, apakah memang ini termasuk hak suaminya?

Saya jawab bahwa suami punya hak atas istrinya. Apabila ia
(si istri) mendermakan salah satu ginjalnya, sudah barang
tentu ia harus dioperasi dan masuk rumah sakit, serta
memerlukan perawatan khusus. Semua itu dapat menghalangi
sebagian hak suami terhadap istri, belum lagi ditambah
dengan beban-beban lainnya. Oleh karena itu, seharusnya hal
itu dilakukan dengan izin dan kerelaan suami.

Disamping itu, mendonorkan organ tubuh hanya boleh dilakukan
oleh orang dewasa dan berakal sehat. Dengan demikian, tidak
diperbolehkan anak kecil mendonorkan organ tubuhnya, sebab
ia tidak tahu persis kepentingan dirinya, demikian pula
halnya orang gila.

Begitu juga seorang wali, ia tidak boleh mendonorkan organ
tubuh anak kecil dan orang gila yang dibawah perwaliannya,
disebabkan keduanya tidak mengerti. Terhadap harta mereka
saja wali tidak boleh mendermakannya, lebih-lebih jika ia
mendermakan sesuatu yang lebih tinggi dan lebih mulia
daripada harta, semisal organ tubuh.

(Bagian 1/3, 2/3, 3/3)
-----------------------
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388
ISBN 979-561-276-X

Read More......

BOLEHKAH LAKI-LAKI MEMANDANG PEREMPUAN DAN SEBALIKNYA?

Dr. Yusuf Qardhawi (1/2)

PERTANYAAN

Kami ingin mengetahui hukum boleh tidaknya laki-laki
memandang perempuan, malah lebih khusus lagi, perempuan
memandang laki-laki Sebab, kami pernah mendengar dari
seorang penceramah bahwa wanita itu tidak boleh memandang
laki-laki, baik dengan syahwat maupun tidak. Sang penceramah
tadi mengemukakan dalil dua buah hadits.

Pertama, bahwa Nabi saw. pernah bertanya kepada putrinya,
Fatimah r.a., "Apakah yang paling baik bagi wanita?" Fatimah
menjawab, "janganlah ia memandang laki-laki dan jangan ada
laki- laki memandang kepadanya." Lalu Nabi saw. menciumnya
seraya berkata, "Satu keturunan yang sebagiannya (keturunan
dari yang lain).1

Kedua, hadits Ummu Salamah r.a., yang berkata, "Saya pernah
berada di sisi Rasulullah saw. dan di sebelah beliau ada
Maimunah, kemudian Ibnu Ummi Maktum datang menghadap.
Peristiwa ini terjadi setelah kami diperintahkan berhijab.
Lalu Nabi saw. bersabda, "Berhijablah kalian daripadanya!"
Lalu kami berkata, "Wahai Rasulullah, bukankah dia
tunanetra, sehingga tidak mengetahui kami?" Beliau menjawab,
"Apakah kalian juga tuna netra?" Bukankah kalian dapat
melihatnya?" (HR Abu Daud dan Tirmidzi. Beliau (Tirmidzi)
berkata, "Hadits ini hasan sahih.)2

Pertanyaan saya, bagaimana mungkin wanita tidak melihat
laki-laki dan laki-laki tidak melihat wanita, terlebih pada
zaman kita sekarang ini? Apakah hadits-hadits tersebut sahih
dan apa maksudnya?

Saya harap Ustadz tidak mengabaikan surat saya, dan saya
mohon Ustadz berkenan memberikan penjelasan mengenai masalah
ini sehingga dapat menerangi jalan orang-orang bingung, yang
terus saja memperdebatkan masalah ini dengan tidak ada
ujungnya.

Semoga Allah memberi taufik kepada Ustadz.

JAWABAN

Allah menciptakan seluruh makhluk hidup berpasang-pasangan,
bahkan menciptakan alam semesta ini pun berpasang-pasangan,
sebagaimana firman-Nya:

"Maha Suci Allah yang telah menciptakan pasang-pasangan
semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari
diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui"
(Yasin: 36)

"Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya
kamu mengingat akan kebesaran Allah." (ad-Dzaariyat: 49)

Berdasarkan sunnah kauniyah (ketetapan Allah) yang umum ini,
manusia diciptakan berpasang-pasangan, terdiri dari jenis
laki-laki dan perempuan, sehingga kehidupan manusia dapat
berlangsung dan berkembang. Begitu pula dijadikan daya tarik
antara satu jenis dengan jenis lain, sebagai fitrah Allah
untuk manusia.

Setelah menciptakan Adam, Allah menciptakan (dari dan untuk
Adam) seorang istri supaya ia merasa tenang hidup dengannya,
begitu pula si istri merasa tenang hidup bersamanya. Sebab,
secara hukum fitrah, tidak mungkin ia (Adam) dapat merasa
bahagia jika hanya seorang diri, walaupun dalam surga ia
dapat makan minum secara leluasa.

Seperti telah saya singgung di muka bahwa taklif ilahi
(tugas dari Allah) yang pertama adalah ditujukan kepada
kedua orang ini sekaligus secara bersama-sama, yakni Adam
dan istrinya:

"... Hai Adam, diamilah oleh kamu dan istrimu surga ini, dan
makanlah makanan-makanannya yang banyak lagi baik dimana
saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon ini,
yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim."
(al-Baqarah: 35)

Maka hiduplah mereka didalam surga bersama-sama, kemudian
memakan buah terlarang bersama-sama, bertobat kepada Allah
bersama-sama, turun ke bumi bersama-sama, dan mendapatkan
taklif-taklif ilahi pun bersama-sama:

"Allah beffirman, Turunlah kamu berdua dari surga
bersama-sama, sebagian kamu menjadi musuh bagi sebagian yang
lain. Maka jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu
barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat
dan tidak akan celaka." (Thaha: 123)

Setelah itu, berlangsunglah kehidupan ini. Laki-laki selalu
membutuhkan perempuan, tidak dapat tidak; dan perempuan
selalu membutuhkan laki-laki, tidak dapat tidak. "Sebagian
kamu adalah dari sebagian yang lain." Dari sini tugas-tugas
keagamaan dan keduniaan selalu mereka pikul bersama-sama.

Karena itu, tidaklah dapat dibayangkan seorang laki-laki
akan hidup sendirian, jauh dari perempuan, tidak melihat
perempuan dan perempuan tidak melihatnya, kecuali jika sudah
keluar dari keseimbangan fitrah dan menjauhi kehidupan,
sebagaimana cara hidup kependetaan yang dibikin-bikin kaum
Nasrani. Mereka adakan ikatan yang sangat ketat terhadap
diri mereka dalam kependetaan ini yang tidak diakui oleh
fitrah yang sehat dan syariat yang lulus, sehingga mereka
lari dari perempuan, meskipun mahramnya sendiri, ibunya
sendiri, atau saudaranya sendiri. Mereka mengharamkan atas
diri mereka melakukan perkawinan, dan mereka menganggap
bahwa kehidupan yang ideal bagi orang beriman ialah
laki-laki yang tidak berhubungan dengan perempuan dan
perempuan yang tidak berhubungan dengan laki-laki, dalam
bentuk apa pun.

Tidak dapat dibayangkan bagaimana wanita akan hidup
sendirian dengan menjauhi laki-laki. Bukankah kehidupan itu
dapat tegak dengan adanya tolong-menolong dan bantu-membantu
antara kedua jenis manusia ini dalam urusan-urusan dunia dan
akhirat?

"Dan orang-orangyang beriman, laki-laki dan perempuan,
sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang
lain..." (at-Taubah: 71)

Telah saya kemukakan pula pada bagian lain dari buku ini
bahwa Al-Qur'an telah menetapkan wanita - yang melakukan
perbuatan keji secara terang-terangan - untuk "ditahan" di
rumah dengan tidak boleh keluar dari rumah, sebagai hukuman
bagi mereka - sehingga ada empat orang laki-laki muslim yang
dapat memberikan kesaksian kepadanya. Hukuman ini terjadi
sebelum ditetapkannya peraturan (tasyri') dan diwajibkannya
hukuman (had) tertentu. Allah berfirman:

"Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji,
hendaklah ada empat orang saksi diantara kamu (yang
menyaksikannya). Kemudian apabila mereka telah memberi
persaksian, maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam
rumah sampai mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah
memberi jalan yang lain kepadanya." (an-Nisa': 15)

Hakikat lain yang wajib diingat di sini - berkenaan dengan
kebutuhan timbal balik antara laki-laki dengan perempuan -
bahwa Allah SWT telah menanamkan dalam fitrah masing-masing
dari kedua jenis manusia ini rasa ketertarikan terhadap
lawan jenisnya dan kecenderungan syahwati yang instinktif.
Dengan adanya fitrah ketertarikan ini, terjadilah pertemuan
(perkawinan), dan reproduksi, sehingga terpeliharalah
kelangsungan hidup manusia dan planet bumi ini.

Kita tidak boleh melupakan hakikat ini, ketika kita
membicarakan hubungan laki-laki dengan perempuan atau
perempuan dengan laki-laki. Kita tidak dapat menerima
pernyataan sebagian orang yang mengatakan bahwa dirinya
lebih tangguh sehingga tidak mungkin terpengaruh oleh
syahwat atau dapat dipermainkan oleh setan.

Dalam kaitan ini, baiklah kita bahas secara satu persatu
antara hukum memandang laki-laki terhadap perempuan dan
perempuan terhadap laki-laki.

LAKI-LAKI MEMANDANG PEREMPUAN

Bagian pertama dari pernyataan ini sudah kami bicarakan
dalam Fatwa-fatwa Kontemporer Jilid I tentang wajib tidaknya
memakai cadar, dan kami menguatkan pendapat jumhur ulama
yang menafsirkan firman Allah:

"... Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali
yang (biasa) tampak daripadanya... " (an-Nur: 31 )

Menurut jumhur ulama, perhiasan yang biasa tampak itu ialah
"wajah dan telapak tangan." Dengan demikian, wanita boleh
menampakkan wajahnya dan kedua telapak tangannya, bahkan
(menurut pendapat Abu Hanifah dan al-Muzni) kedua kakinya.

Apabila wanita boleh menampakkan bagian tubuhnya ini (muka
dan tangan/kakinya), maka bolehkah laki-laki melihat
kepadanya ataukah tidak?

Pandangan pertama (secara tiba-tiba) adalah tidak dapat
dihindari sehingga dapat dihukumi sebagai darurat. Adapun
pandangan berikutnya (kedua) diperselisihkan hukumnya oleh
para ulama.

Yang dilarang dengan tidak ada keraguan lagi ialah melihat
dengan menikmati (taladzdzudz) dan bersyahwat, karena ini
merupakan pintu bahaya dan penyulut api. Sebab itu, ada
ungkapan, "memandang merupakan pengantar perzinaan." Dan
bagus sekali apa yang dikatakan oleh Syauki ihwal memandang
yang dilarang ini, yakni:

"Memandang (berpandangan) lalu tersenyum, lantas mengucapkan
salam, lalu bercakap-cakap, kemudian berjanji, akhirnya
bertemu."

Adapun melihat perhiasan (bagian tubuh) yang tidak biasa
tampak, seperti rambut, leher, punggung, betis, lengan
(bahu), dan sebagainya, adalah tidak diperbolehkan bagi
selain mahram, menurut ijma. Ada dua kaidah yang menjadi
acuan masalah ini beserta masalah-masalah yang berhubungan
dengannya.

Pertama, bahwa sesuatu yang dilarang itu diperbolehkan
ketika darurat atau ketika dalam kondisi membutuhkan,
seperti kebutuhan berobat, melahirkan, dan sebagainya,
pembuktikan tindak pidana, dan lain-lainnya yang diperlukan
dan menjadi keharusan, baik untuk perseorangan maupun
masyarakat.

Kedua, bahwa apa yang diperbolehkan itu menjadi terlarang
apabila dikhawatirkan terjadinya fitnah, baik kekhawatiran
itu terhadap laki-laki maupun perempuan. Dan hal ini apabila
terdapat petunjukpetunjuk yang jelas, tidak sekadar perasaan
dan khayalan sebagian orang-orang yang takut dan ragu-ragu
terhadap setiap orang dan setiap persoalan.

Karena itu, Nabi saw. pernah memalingkan muka anak pamannya
yang bernama al-Fadhl bin Abbas, dari melihat wanita
Khats'amiyah pada waktu haji, ketika beliau melihat al-Fadhl
berlama-lama memandang wanita itu. Dalam suatu riwayat
disebutkan bahwa al-Fadhl bertanya kepada Rasulullah saw.,
"Mengapa engkau palingkan muka anak pamanmu?" Beliau saw.
menjawab, "Saya melihat seorang pemuda dan seorang pemudi,
maka saya tidak merasa aman akan gangguan setan terhadap
mereka."

Kekhawatiran akan terjadinya fitnah itu kembali kepada hati
nurani si muslim, yang wajib mendengar dan menerima fatwa,
baik dari hati nuraninya sendiri maupun orang lain. Artinya,
fitnah itu tidak dikhawatirkan terjadi jika hati dalam
kondisi sehat, tidak dikotori syahwat, tidak dirusak syubhat
(kesamaran), dan tidak menjadi sarang pikiran-pikiran yang
menyimpang.

WANITA MEMANDANG LAKI-LAKI

Diantara hal yang telah disepakati ialah bahwa melihat
kepada aurat itu hukumnya haram, baik dengan syahwat maupun
tidak, kecuali jika hal itu terjadi secara tiba-tiba, tanpa
sengaja, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits sahih dari
Jarir bin Abdullah, ia berkata:

"Saya bertanya kepada Nabi saw. Tentang memandang (aurat
orang lain) secara tiba-tiba (tidak disengaja). Lalu beliau
bersabda, 'Palingkanlah pandanganmu.'" (HR Muslim)

Lantas, apakah aurat laki-laki itu? Bagian mana saja yang
disebut aurat laki-laki?

Kemaluan adalah aurat mughalladhah (besar/berat) yang telah
disepakati akan keharaman membukanya di hadapan orang lain
dan haram pula melihatnya, kecuali dalam kondisi darurat
seperti berobat dan sebagainya. Bahkan kalau aurat ini
ditutup dengan pakaian tetapi tipis atau menampakkan
bentuknya, maka ia juga terlarang menurut syara'.

Mayoritas fuqaha berpendapat bahwa paha laki-laki termasuk
aurat, dan aurat laki-laki ialah antara pusar dengan lutut.
Mereka mengemukakan beberapa dalil dengan hadits-hadits yang
tidak lepas dari cacat. Sebagian mereka menghasankannya dan
sebagian lagi mengesahkannya karena banyak jalannya,
walaupun masing-masing hadits itu tidak dapat dijadikan
hujjah untuk menetapkan suatu hukum syara'.

Sebagian fuqaha lagi berpendapat bahwa paha laki-laki itu
bukan aurat, dengan berdalilkan hadits Anas bahwa Rasulullah
saw. pernah membuka pahanya dalam beberapa kesempatan.
Pendapat ini didukung oleh Muhammad Ibnu Hazm.

Menurut mazhab Maliki sebagaimana termaktub dalam
kitab-kitab mereka bahwa aurat mughalladhah laki-laki ialah
qubul (kemaluan) dan dubur saja, dan aurat ini bila dibuka
dengan sengaja membatalkan shalat.

Para fuqaha hadits berusaha mengompromikan antara
hadits-hadits yang bertentangan itu sedapat mungkin atau
mentarjih (menguatkan salah satunya). Imam Bukhari
mengatakan dalam kitab sahihnya "Bab tentang Paha,"
diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Jurhud, dan Muhammad bin-Jahsy
dari Nabi saw. bahwa paha itu aurat, dan Anas berkata, "Nabi
saw. pernah membuka pahanya." Hadits Anas ini lebih kuat
sanadnya, sedangkan hadits Jurhud lebih berhati-hati.2

(bersambung 2/2)
-----------------------
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388
ISBN 979-561-276-X

Read More......

PERGAULAN LAKI-LAKI DENGAN PEREMPUAN

Dr. Yusuf Qardhawi

PERTANYAAN

Banyak perkataan dan fatwa seputar masalah (boleh tidaknya)
laki-laki bergaul dengan perempuan (dalam satu tempat). Kami
dengar diantara ulama ada yang mewajibkan wanita untuk tidak
keluar dari rumah kecuali ke kuburnya, sehingga ke masjid
pun mereka dimakruhkan. Sebagian lagi ada yang
mengharamkannya, karena takut fitnah dan kerusakan zaman.

Mereka mendasarkan pendapatnya pada perkataan Ummul Mu'minin
Aisyah r.a.: "Seandainya Rasulullah saw. mengetahui apa yang
diperbuat kaum wanita sepeninggal beliau, niscaya beliau
melarangnya pergi ke masjid."

Kiranya sudah tidak samar bagi Ustadz bahwa wanita juga
perlu keluar rumah ketengah-tengah masyarakat untuk belajar,
bekerja, dan bersama-sama di pentas kehidupan. Jika itu
terjadi, sudah tentu wanita akan bergaul dengan laki-laki,
yang boleh jadi merupakan teman sekolah, guru, kawan kerja,
direktur perusahaan, staf, dokter dan sebagainya.

Pertanyaan kami, apakah setiap pergaulan antara laki-laki
dengan perempuan itu terlarang atau haram? Apakah mungkin
wanita akan hidup tanpa laki-laki, terlebih pada zaman yang
kehidupan sudah bercampur aduk sedemikian rupa? Apakah
wanita itu harus selamanya dikurung dalam sangkar, yang
meskipun berupa sangkar emas, ia tak lebih sebuah penjara?
Mengapa laki-laki diberi sesuatu (kebebasan) yang tidak
diberikan kepada wanita? Mengapa laki-laki dapat
bersenang-senang dengan udara bebas, sedangkan wanita
terlarang menikmatinya? Mengapa persangkaan jelek itu selalu
dialamatkan kepada wanita, padahal kualitas keagamaan,
pikiran, dan hati nurani wanita tidak lebih rendah daripada
laki-laki?

Wanita - sebagaimana laki-laki - punya agama yang
melindunginya, akal yang mengendalikannya, dan hati nurani
(an-nafs al-lawwamah) yang mengontrolnya. Wanita,
sebagaimana laki-laki, juga punya gharizah atau keinginan
yang mendorong pada perbuatan buruk (an-nafs al-ammarah
bis-su). Wanita dan laki-laki sama-sama punya setan yang
dapat menyulap kejelekan menjadi keindahan serta membujuk
rayu mereka.

Yang menjadi pertanyaan, apakah semua peraturan yang ketat
untuk wanita itu benar-benar berasal dari hukum Islam?

Kami mohon Ustadz berkenan menjelaskan masalah ini, dan
bagaimana seharusnya sikap kita? Dengan kata lain, bagaimana
pandangan syariat terhadap masalah ini? Atau, bagaimana
ketentuan Al-Qur'an dan Sunnah Nabi yang sahih, bukan kata
si Zaid dan si Amr.

Semoga Allah memberi taufik kepada Ustadz untuk menjelaskan
kebenaran dengan mengemukakan dalil-dalilnya.

JAWABAN

Kesulitan kita - sebagaimana yang sering saya kemukakan -
ialah bahwa dalam memandang berbagai persoalan agama,
umumnya masyarakat berada dalam kondisi ifrath (berlebihan)
dan tafrith (mengabaikan). Jarang sekali kita temukan sikap
tawassuth (pertengahan) yang merupakan salah satu
keistimewaan dan kecemerlangan manhaj Islam dan umat Islam.

Sikap demikian juga sama ketika mereka memandang masalah
pergaulan wanita muslimah di tengah-tengah masyarakat. Dalam
hal ini, ada dua golongan masyarakat yang saling
bertentangan dan menzalimi kaum wanita.

Pertama, golongan yang kebarat-baratan yang menghendaki
wanita muslimah mengikuti tradisi Barat yang bebas tetapi
merusak nilai-nilai agama dan menjauh dari fitrah yang lurus
serta jalan yang lempang. Mereka jauh dari Allah yang telah
mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab-Nya untuk
menjelaskan dan menyeru manusia kepada-Nya.

Mereka menghendaki wanita muslimah mengikuti tata kehidupan
wanita Barat "sejengkal demi sejengkal, sehasta demi
sehasta" sebagaimana yang digambarkan oleh hadits Nabi,
sehingga andaikata wanita-wanita Barat itu masuk ke lubang
biawak niscaya wanita muslimah pun mengikuti di belakangnya.
Sekalipun lubang biawak tersebut melingkar-lingkar, sempit,
dan pengap, wanita muslimah itu akan tetap merayapinya. Dari
sinilah lahir "solidaritas" baru yang lebih dipopulerkan
dengan istilah "solidaritas lubang biawak."

Mereka melupakan apa yang dikeluhkan wanita Barat sekarang
serta akibat buruk yang ditimbulkan oleh pergaulan bebas
itu, baik terhadap wanita maupun laki-laki, keluarga, dan
masyarakat. Mereka sumbat telinga mereka dari
kritikan-kritikan orang yang menentangnya yang datang silih
berganti dari seluruh penjuru dunia, termasuk dari Barat
sendiri. Mereka tutup telinga mereka dari fatwa para ulama,
pengarang, kaum intelektual, dan para muslihin yang
mengkhawatirkan kerusakan yang ditimbulkan peradaban Barat,
terutama jika semua ikatan dalan pergaulan antara laki-laki
dan perempuan benar-benar terlepas.

Mereka lupa bahwa tiap-tiap umat memiliki kepribadian
sendiri yang dibentuk oleh aqidah dan pandangannya terhadap
alam semesta, kehidupan, tuhan, nilai-nilai agama, warisan
budaya, dan tradisi. Tidak boleh suatu masyarakat melampaui
tatanan suatu masyarakat lain.

Kedua, golongan yang mengharuskan kaum wanita mengikuti
tradisi dan kebudayaan lain, yaitu tradisi Timur, bukan
tradisi Barat. Walaupun dalam banyak hal mereka telah
dicelup oleh pengetahuan agama, tradisi mereka tampak lebih
kokoh daripada agamanya. Termasuk dalam hal wanita, mereka
memandang rendah dan sering berburuk sangka kepada wanita.

Bagaimanapun, pandangan-pandangan diatas bertentangan dengan
pemikiran-pemikiran lain yang mengacu pada Al-Qur'anul Karim
dan petunjuk Nabi saw. serta sikap dan pandangan para
sahabat yang merupakan generasi muslim terbaik.

Ingin saya katakan disini bahwa istilah ikhtilath
(percampuran) dalam lapangan pergaulan antara laki-laki
dengan perempuan merupakan istilah asing yang dimasukkan
dalam "Kamus Islam." Istilah ini tidak dikenal dalam
peradaban kita selama berabad-abad yang silam, dan baru
dikenal pada zaman sekarang ini saja. Tampaknya ini
merupakan terjemahan dari kata asing yang punya konotasi
tidak menyenangkan terhadap perasaan umat Islam. Barangkali
lebih baik bila digunakan istilah liqa' (perjumpaan),
muqabalah (pertemuan), atau musyarakrah (persekutuan)
laki-laki dengan perempuan.

Tetapi bagaimanapun juga, Islam tidak menetapkan hukum
secara umum mengenai masalah ini. Islam justru
memperhatikannya dengan melihat tujuan atau kemaslahatan
yang hendak diwujudkannya, atau bahaya yang
dikhawatirkannya, gambarannya, dan syarat-syarat yang harus
dipenuhinya, atau lainnya.

Sebaik-baik petunjuk dalam masalah ini ialah petunjuk Nabi
Muhammad saw., petunjuk khalifah-khalifahnya yang lurus, dan
sahabat-sahabatnya yang terpimpin.

Orang yang mau memperhatikan petunjuk ini, niscaya ia akan
tahu bahwa kaum wanita tidak pernah dipenjara atau diisolasi
seperti yang terjadi pada zaman kemunduran umat Islam.

Pada zaman Rasulullah saw., kaum wanita biasa menghadiri
shalat berjamaah dan shalat Jum'at. Beliau saw. menganjurkan
wanita untuk mengambil tempat khusus di shaf (baris)
belakang sesudah shaf laki-laki. Bahkan, shaf yang paling
utama bagi wanita adalah shaf yang paling belakang. Mengapa?
Karena, dengan paling belakang, mereka lebih terpelihara
dari kemungkinan melihat aurat laki-laki. Perlu diketahui
bahwa pada zaman itu kebanyakan kaum laki-laki belum
mengenal celana.

Pada zaman Rasulullah saw. (jarak tempat shalat) antara
laki-laki dengan perempuan tidak dibatasi dengan tabir sama
sekali, baik yang berupa dinding, kayu, kain, maupun
lainnya. Pada mulanya kaum laki-laki dan wanita masuk ke
masjid lewat pintu mana saja yang mereka sukai, tetapi
karena suatu saat mereka berdesakan, baik ketika masuk
maupun keluar, maka Nabi saw. bersabda:

"Alangkah baiknya kalau kamu jadikan pintu ini untuk wanita"

Dari sinilah mula-mula diberlakukannya pintu khusus untuk
wanita, dan sampai sekarang pintu itu terkenal dengan
istilah "pintu wanita."

(Bagian 1/3, 2/3, 3/3)
-----------------------
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388

Read More......

BERJABAT TANGAN ANTARA LAKI-LAKI DENGAN PEREMPUAN (1/3)

Dr. Yusuf Qardhawi

PERTANYAAN

Sebuah persoalan yang sedang saya hadapi, dan sudah barang
tentu juga dihadapi orang lain, yaitu masalah berjabat
tangan antara laki-laki dengan wanita, khususnya terhadap
kerabat yang bukan mahram saya, seperti anak paman atau anak
bibi, atau istri saudara ayah atau istri saudara ibu, atau
saudara wanita istri saya, atau wanita-wanita lainnya yang
ada hubungan kekerabatan atau persemendaan dengan saya.
Lebih-lebih dalam momen-momen tertentu, seperti datang dari
bepergian, sembuh dari sakit, datang dari haji atau umrah,
atau saat-saat lainnya yang biasanya para kerabat, semenda,
tetangga, dan teman-teman lantas menemuinya dan bertahni'ah
(mengucapkan selamat atasnya) dan berjabat tangan antara
yang satu dengan yang lain.

Pertanyaan saya, apakah ada nash Al-Qur'an atau As-Sunnah
yang mengharamkan berjabat tangan antara laki-laki dengan
wanita, sementara sudah saya sebutkan banyak motivasi
kemasyarakatan atau kekeluargaan yang melatarinya, disamping
ada rasa saling percaya. aman dari fitnah, dan jauh dari
rangsangan syahwat. Sedangkan kalau kita tidak mau berjabat
tangan, maka mereka memandang kita orang-orang beragama ini
kuno dan terlalu ketat, merendahkan wanita, selalu
berprasangka buruk kepadanya, dan sebagainya.

Apabila ada dalil syar'inya, maka kami akan menghormatinya
dengan tidak ragu-ragu lagi, dan tidak ada yang kami lakukan
kecuali mendengar dan mematuhi, sebagai konsekuensi keimanan
kami kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan jika hanya semata-mata
hasil ijtihad fuqaha-fuqaha kita terdahulu, maka adakalanya
fuqaha-fuqaha kita sekarang boleh berbeda pendapat
dengannya, apabila mereka mempunyai ijtihad yang benar,
dengan didasarkan pada tuntutan peraturan yang senantiasa
berubah dan kondisi kehidupan yang selalu berkembang.

Karena itu, saya menulis surat ini kepada Ustadz dengan
harapan Ustadz berkenan membahasnya sampai ke akar-akarnya
berdasarkan Al-Qur'anul Karim dan Al-Hadits asy-Syarif.
Kalau ada dalil yang melarang sudah tentu kami akan
berhenti; tetapi jika dalam hal ini terdapat kelapangan,
maka kami tidak mempersempit kelapangan-kelapangan yang
diberikan Allah kepada kami, lebih-lebih sangat diperlukan
dan bisa menimbulkan "bencana" kalau tidak dipenuhi.

Saya berharap kesibukan-kesibukan Ustadz yang banyak itu
tidak menghalangi Ustadz untuk menjawab surat saya ini,
sebab - sebagaimana saya katakan di muka - persoalan ini
bukan persoalan saya seorang, tetapi mungkin persoalan
berjuta-juta orang seperti saya.

Semoga Allah melapangkan dada Ustadz untuk menjawab, dan
memudahkan kesempatan bagi Ustadz untuk menahkik masalah,
dan mudah-mudahan Dia menjadikan Ustadz bermanfaat.

JAWABAN

Tidak perlu saya sembunyikan kepada saudara penanya bahwa
masalah hukum berjabat tangan antara laki-laki dengan
perempuan - yang saudara tanyakan itu - merupakan masalah
yang amat penting, dan untuk menahkik hukumnya tidak bisa
dilakukan dengan seenaknya. Ia memerlukan kesungguhan dan
pemikiran yang optimal dan ilmiah sehingga si mufti harus
bebas dari tekanan pikiran orang lain atau pikiran yang
telah diwarisi dari masa-masa lalu, apabila tidak didapati
acuannya dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah sehingga
argumentasi-argumentasinya dapat didiskusikan untuk
memperoleh pendapat yang lebih kuat dan lebih mendekati
kebenaran menurut pandangan seorang faqih, yang didalam
pembahasannya hanya mencari ridha Allah, bukan
memperturutkan hawa nafsu.

Sebelum memasuki pembahasan dan diskusi ini, saya ingin
mengeluarkan dua buah gambaran dari lapangan perbedaan
pendapat ini, yang saya percaya bahwa hukum kedua gambaran
itu tidak diperselisihkan oleh fuqaha-fuqaha terdahulu,
menurut pengetahuan saya. Kedua gambaran itu ialah:

Pertama, diharamkan berjabat tangan dengan wanita apabila
disertai dengan syahwat dan taladzdzudz (berlezat-lezat)
dari salah satu pihak, laki-laki atau wanita (kalau keduanya
dengan syahwat sudah barang tentu lebih terlarang lagi;
penj.) atau dibelakang itu dikhawatirkan terjadinya fitnah,
menurut dugaan yang kuat. Ketetapan diambil berdasarkan pada
hipotesis bahwa menutup jalan menuju kerusakan itu adalah
wajib, lebih-lebih jika telah tampak tanda-tandanya dan
tersedia sarananya.

Hal ini diperkuat lagi oleh apa yang dikemukakan para ulama
bahwa bersentuhan kulit antara laki-laki dengannya - yang
pada asalnya mubah itu - bisa berubah menjadi haram apabila
disertai dengan syahwat atau dikhawatirkan terjadinya
fitnah,1 khususnya dengan anak perempuan si istri (anak
tiri), atau saudara sepersusuan, yang perasaan hatinya sudah
barang tentu tidak sama dengan perasaan hati ibu kandung,
anak kandung, saudara wanita sendiri, bibi dari ayah atau
ibu, dan sebagainya.

Kedua, kemurahan (diperbolehkan) berjabat tangan dengan
wanita tua yang sudah tidak punya gairah terhadap laki-laki,
demikian pula dengan anak-anak kecil yang belum mempunyai
syahwat terhadap laki-laki, karena berjabat tangan dengan
mereka itu aman dari sebab-sebab fitnah. Begitu pula bila si
laki-laki sudah tua dan tidak punya gairah terhadap wanita.

Hal ini didasarkan pada riwayat dari Abu Bakar r.a. bahwa
beliau pernah berjabat tangan dengan beberapa orang wanita
tua, dan Abdullah bin Zubair mengambil pembantu wanita tua
untuk merawatnya, maka wanita itu mengusapnya dengan
tangannya dan membersihkan kepalanya dari kutu.2

Hal ini sudah ditunjukkan Al-Qur'an dalam membicarakan
perempuan-perempuan tua yang sudah berhenti (dari haid dan
mengandung), dan tiada gairah terhadap laki-laki, dimana
mereka diberi keringanan dalam beberapa masalah pakaian yang
tidak diberikan kepada yang lain:

"Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid
dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas
mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak
(bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah
lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui." (an-Nur: 60)

Dikecualikan pula laki-laki yang tidak memiliki gairah
terhadap wanita dan anak-anak kecil yang belum muncul hasrat
seksualnya. Mereka dikecualikan dari sasaran larangan
terhadap wanita-wanita mukminah dalam hal menampakkan
perhiasannya.

"... Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya,
dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami
mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara
laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka,
atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau
wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki,
atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai
keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum
mengerti tentang aurat wanita ..."(an-Nur: 31)

Selain dua kelompok yang disebutkan itulah yang menjadi tema
pembicaraan dan pembahasan serta memerlukan pengkajian dan
tahkik.

Golongan yang mewajibkan wanita menutup seluruh tubuhnya
hingga wajah dan telapak tangannya, dan tidak menjadikan
wajah dan tangan ini sebagai yang dikecualikan oleh ayat:

"... Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali
yang biasa tampak daripadanya ..." (an-Nur: 31)

Bahkan mereka menganggap bahwa perhiasan yang biasa tampak
itu adalah pakaian luar seperti baju panjang, mantel, dan
sebagainya, atau yang tampak karena darurat seperti
tersingkap karena ditiup angin kencang dan sebagainya. Maka
tidak mengherankan lagi bahwa berjabat tangan antara
laki-laki dengan wanita menurut mereka adalah haram. Sebab,
apabila kedua telapak tangan itu wajib ditutup maka
melihatnya adalah haram; dan apabila melihatnya saja haram,
apa lagi menyentuhnya. Sebab, menyentuh itu lebih berat
daripada melihat, karena ia lebih merangsang, sedangkan
tidak ada jabat tangan tanpa bersentuhan kulit.

Tetapi sudah dikenal bahwa mereka yang berpendapat demikian
adalah golongan minoritas, sedangkan mayoritas fuqaha dari
kalangan sahabat, tabi'in, dan orang-orang sesudah mereka
berpendapat bahwa yang dikecualikan dalam ayat "kecuali yang
biasa tampak daripadanya" adalah wajah dan kedua (telapak)
tangan.

Maka apakah dalil mereka untuk mengharamkan berjabat tangan
yang tidak disertai syahwat?

Sebenarnya saya telah berusaha mencari dalil yang memuaskan
yang secara tegas menetapkan demikian, tetapi tidak saya
temukan.

Dalil yang terkuat dalam hal ini ialah menutup pintu fitnah
(saddudz-dzari'ah), dan alasan ini dapat diterima tanpa
ragu-ragu lagi ketika syahwat tergerak, atau karena takut
fitnah bila telah tampak tanda-tandanya. Tetapi dalam
kondisi aman - dan ini sering terjadi - maka dimanakah letak
keharamannya?

Sebagian ulama ada yang berdalil dengan sikap Nabi saw. yang
tidak berjabat tangan dengan perempuan ketika beliau
membai'at mereka pada waktu penaklukan Mekah yang terkenal
itu, sebagaimana disebutkan dalam surat al-Mumtahanah.

Tetapi ada satu muqarrar (ketetapan) bahwa apabila Nabi saw.
meninggalkan suatu urusan, maka hal itu tidak menunjukkan -
secara pasti - akan keharamannya. Adakalanya beliau
meninggalkan sesuatu karena haram, adakalanya karena makruh,
adakalanya hal itu kurang utama, dan adakalanya hanya
semata-mata karena beliau tidak berhasrat kepadanya, seperti
beliau tidak memakan daging biawak padahal daging itu mubah.

Kalau begitu, sikap Nabi saw. tidak berjabat tangan dengan
wanita itu tidak dapat dijadikan dalil untuk menetapkan
keharamannya, oleh karena itu harus ada dalil lain bagi
orang yang berpendapat demikian.

Lebih dari itu, bahwa masalah Nabi saw. tidak berjabat
tangan dengan kaum wanita pada waktu bai'at itu belum
disepakati, karena menurut riwayat Ummu Athiyah
al-Anshariyah r.a. bahwa Nabi saw. pernah berjabat tangan
dengan wanita pada waktu bai'at, berbeda dengan riwayat dari
Ummul Mukminin Aisyah r.a. dimana beliau mengingkari hal itu
dan bersumpah menyatakan tidak terjadinya jabat tangan itu.

Imam Bukhari meriwayatkan dalam sahihnya dari Aisyah bahwa
Rasulullah saw. menguji wanita-wanita mukminah yang
berhijrah dengan ayat ini, yaitu firman Allah:

"Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang
beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak
akan mempersekutukan sesuatu pun dengan Allah; tidak akan
mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh
anak-anaknya, tidak akan berbuat dusta yang mereka
ada-adakan antara tangan dengan kaki mereka3 dan tidak akan
mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji
setia mereka dan mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk
mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang." (al-Mumtahanah: 12)

Aisyah berkata, "Maka barangsiapa diantara wanita-wanita
beriman itu yang menerima syarat tersebut, Rasulullah saw.
berkata kepadanya, "Aku telah membai'atmu - dengan perkataan
saja - dan demi Allah tangan beliau sama sekali tidak
menyentuh tangan wanita dalam bai'at itu; beliau tidak
membai'at mereka melainkan dengan mengucapkan, 'Aku telah
membai'atmu tentang hal itu.'" 4

Dalam mensyarah perkataan Aisyah "Tidak, demi Allah ...,"
al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam Fathul Bari sebagai
berikut: Perkataan itu berupa sumpah untuk menguatkan
berita, dan dengan perkataannya itu seakan-akan Aisyah
hendak menyangkal berita yang diriwayatkan dari Ummu
Athiyah. Menurut riwayat Ibnu Hibban, al-Bazzar,
ath-Thabari, dan Ibnu Mardawaih, dari (jalan) Ismail bin
Abdurrahman dari neneknya, Ummu Athiyah, mengenai kisah
bai'at, Ummu Athiyah berkata:

"Lalu Rasulullah saw. mengulurkan tangannya dari luar rumah
dan kami mengulurkan tangan kami dari dalam rumah, kemudian
beliau berucap, 'Ya Allah, saksikanlah.'"

Demikian pula hadits sesudahnya - yakni sesudah hadits yang
tersebut dalam al-Bukhari - dimana Aisyah mengatakan:

"Seorang wanita menahan tangannya"

Memberi kesan seolah-olah mereka melakukan bai'at dengan
tangan mereka.

Al-Hafizh (Ibnu Hajar) berkata: "Untuk yang pertama itu
dapat diberi jawaban bahwa mengulurkan tangan dari balik
hijab mengisyaratkan telah terjadinya bai'at meskipun tidak
sampai berjabat tangan... Adapun untuk yang kedua, yang
dimaksud dengan menggenggam tangan itu ialah menariknya
sebelum bersentuhan... Atau bai'at itu terjadi dengan
menggunakan lapis tangan.

Abu Daud meriwayatkan dalam al-Marasil dari asy-Sya'bi bahwa
Nabi saw. ketika membai'at kaum wanita beliau membawa kain
selimut bergaris dari Qatar lalu beliau meletakkannya di
atas tangan beliau, seraya berkata,

"Aku tidak berjabat dengan wanita."

Dalam Maghazi Ibnu Ishaq disebutkan bahwa Nabi saw.
memasukkan tangannya ke dalam bejana dan wanita itu juga
memasukkan tangannya bersama beliau.

(Bagian 1/3, 2/3, 3/3)
-----------------------
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388
ISBN 979-561-276-X

Read More......

SAYA MUDAH TERANGSANG

PERTANYAAN

Saya adalah seorang pelajar sekolah lanjutan. Saya cinta
kepada agama dan tekun beribadah. Tetapi saya menghadapi
suatu kendala, yaitu mudah terangsang bila melihat
pemandangan yang membangkitkan syahwat, dan hampir-hampir
saya tidak dapat menguasai diri dalam hal ini. Keadaan ini
membuat saya repot karena harus sering mandi dan mencuci
pakaian dalam. Bagaimana saran Ustadz untuk memecahkan
problematika ini sehingga saya dapat memelihara agama dan
ibadah saya dengan baik?

JAWABAN:

Pertama, saya berdoa semoga Allah memberi berkah kepada
Anda, pemuda yang begitu besar perhatiannya terhadap agama
yang lurus ini, dan saya minta kepada Anda agar senantiasa
berpegang teguh dengannya dan tetap antusias kepadanya, jauh
dari teman-teman yang jelek perilakunya, serta senantiasa
menjaga agama dari gelombang materialisme dan kebebasan,
yang telah banyak merusak pemuda-pemuda dan remaja-remaja
kita. Juga saya sampaikan kabar gembira kepada Anda bahwa
Anda bisa termasuk anggota tujuh golongan yang dinaungi oleh
Allah pada hari tidak ada lagi naunngan selain naungan-Nya,
selama Anda taat kepada-Nya.

Kedua, saya nasihatkan kepada saudara penanya agar
memeriksakan diri kepada dokter spesialis, barangkali
problema yang dihadapi itu semata-mata berkaitan dengam
suatu organ tubuh tertentu, dan para dokter ahli tentunya
memiliki obat untuk penyakit seperti ini. Allah berfirman:

"... maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai
pengetahuan jika kamu tidak mengetahui." (An Nahl: 43)

Rasulullah saw. bersabda:

"Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit melainkan Ia juga
menurunkan obat untuknya." (HR Ibnu Majah dari Abu Hurairah)

Ketiga, saya nasihatkan juga kepada Anda agar menjauhi -
sekuat mungkin - segala hal yang dapat membangkitkan
syahwatnya dan menjadikannya menanggung beban serta
kesulitan (mandi dan sebagainya). Adalah suatu kewajiban
bagi setiap mukmin untuk tidak menempatkan dirinya di
tempat-tempat yang dapat menimbulkan kesukaran bagi dirinya
dan menutup semua pintu tempat berhembusnya angin fitnah
atas diri dan agamanya. Simaklah kata-kata hikmah berikut:

"Orang berakal itu bukanlah orang yang pandai mencari-cari
alasan untuk membenarkan kejelekannya setelah terjatuh
kedalamnya, tetapi orang berakal ialah orang yang pandai
menyiasati kejelekan agar tidak terjatuh ke dalamnya."

Diantara tanda orang salih ialah menjauhi perkara-perkara
yang syubhat sehingga tidak terjatuh ke dalam perkara yang
haram, bahkan menjauhi sebagian yang halal sehingga tidak
terjatuh kedalam yang syubhat. Rasulullah saw. Bersabda:

"Tidaklah seorang hamba mencapai derajat muttaqin (orang
yang takwa) sehingga ia meninggalkan sesuatu yang tidak
terlarang karena khawatir terjatuh pada yang terlarang." (HR
Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Hakim dari Athiyyah as-Sa'di
dengan sanad sahih)

Keempat, setiap yang keluar dari tubuh manusia - karena
melihat pemandangan-pemandangan yang merangsang - belum
tentu mani (yang hukumnya wajib mandi jika ia keluar). Boleh
jadi yang keluar itu adalah madzi, yaitu cairan putih,
jernih, dan rekat, yang keluar ketika sedang bercumbu, atau
melihat sesuatu yang merangsang, atau ketika sedang
mengkhayalkan hubungan seksual. Keluarnya madzi tidak
disertai syahwat yang kuat, tidak memancar, dan tidak
diahkiri dengan kelesuan (loyo, letih), bahkan kadang-kadang
keluarnya tidak terasa. Madzi ini hukumnya seperti hukum
kencing, yaitu membatalkan wudhu (dan najis) tetapi tidak
mewajibkan mandi. Bahkan Rasulullah saw. memberi keringanan
untuk menyiram pakaian yang terkena madzi itu, tidak harus
mencucinya.

Diriwayatkan dari Sahl bin Hanif, ia berkata, "Saya merasa
melarat dan payah karena sering mengeluarkan madzi dan
mandi, lalu saya adukan hal itu kepada Rasulullah saw.,
kemudian beliau bersabda, 'Untuk itu, cukuplah engkau
berwudhu.' Saya bertanya, Wahai Rasulullah, bagaimana dengan
yang mengenai pakaian saya? Beliau menjawab, 'Cukuplah
engkau mengambil air setapak tangan, lalu engkau siramkan
pada pakaian yang terkena itu.'" (HR Abu Daud, Ibnu Majah,
dan Tirmidzi. Beliau berkata, hasan sahih)

Menyiram pakaian (pada bagian yang terkena madzi) ini lebih
mudah daripada mencucinya, dan ini merupakan keringanan
serta kemudahan dari Allah kepada hamba-hamba-Nya dalam
kondisi seperti ini yang sekiranya akan menjadikan melarat
jika harus mandi berulang-ulang. Maha Benar Allah Yang Maha
Agung yang telah berfirman:

"... Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak
membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu,
supaya kamu bersyukur." (Al-Maa'idah: 6)

Wallahu a'lam.

-----------------------
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388

Read More......

Berburu

BANYAK sekali orang-orang Arab dan bangsa-bangsa lain yang hidupnya berburu. Oleh karena itu al-Quran dan hadis menganggap penting dalam persoalan ini; dan ahli-ahli fiqih pun kemudian membuatnya bab tersendiri, dengan menghuraikan mana yang halal dan mana yang haram, mana yang wajib dan mana yang sunnat.

Hal mana justru banyaknya binatang dan burung-burung yang dagingnya sangat baik sekali tetapi sukar didapat oleh manusia, karena tidak termasuk binatang peliharaan. Untuk itu Islam tidak memberikan persyaratan dalam menyembelih binatang-binatang tersebut seperti halnya persyaratan yang berlaku pada binatang-binatang peliharaan yang harus disembelih pada lehernya.

Islam menganggap cukup apa yang kiranya mudah, untuk memberikan keringanan dan keleluasaan kepada manusia. Dimana hal ini telah dibenarkan juga oleh fitrah dan kebutuhan manusia itu sendiri. Disini Islam hanya membuat beberapa peraturan dan persyaratan yang tunduk kepada aqidah dan tata-tertib Islam, serta membentuk setiap persoalan umat Islam dalam suatu karakter (shibghah) Islam.

Syarat-syarat itu ada yang bertalian dengan si pemburunya itu sendiri, ada yang bertalian dengan binatang yang diburu dan ada yang bertalian dengan alat yang dipakai untuk berburu.

Semua persyaratan ini hanya berlaku untuk binatang darat. Adapun binatang laut, adalah seperti yang dikemukakan di atas, yaitu secara keseluruhannya telah dihalalkan Allah tanpa suatu ikatan apapun.

Firman Allah:

"Dihalalkan bagi kamu binatang buruan laut dan makanannya." (al-Maidah: 96)

2.1.18.1 Syarat Yang Berlaku Untuk Pemburu

1. Syarat yang berlaku untuk pemburu binatang darat, sama halnya dengan syarat yang berlaku bagi orang yang akan menyembelih, yaitu harus orang Islam, ahli kitab atau orang yang dapat dikategorikan sebagai ahli kitab seperti Majusi dan Shabiin.

Termasuk tuntunan yang diajarkan Islam kepada orang-orang yang berburu, yaitu: mereka itu tidak bermain-main, sehingga melayanglah jiwa binatang tersebut tetapi tidak ada maksud untuk dimakan atau dimanfaatkan.

Di dalam salah satu hadisnya, Rasulullah s.a.w. bersabda:

"Barangsiapa membunuh seekor burung pipit dengan maksud bermain-main, maka nanti di hari kiamat burung tersebut akan mengadu kepada Allah; ia berkata: 'Ya Tuhanku! Si Anu telah membunuh aku dengan bermain-main, tetapi tidak membunuh aku untuk diambil manfaat.'" (Riwayat Nasa'i dan Ibnu Hibban)

Dan di hadisnya yang lain pula, beliau bersabda:

"Tidak seorang pun yang membunuh burung pipit dan yang lebih kecil dari itu, tidak menurut haknya, melainkan akan ditanyakan Allah kelak di hari kiamat. Rasulullah s.a.w. kemudian ditanya: 'Apa hak burung itu, ya Rasulullah!' Nabi menjawab: 'Yaitu dia disembelih kemudian dimakan, tidak diputus kepalanya kemudian dibuang begitu saja.'" (Riwayat Nasa'i dan Hakim)

Selain daripada itu, bahwa diharuskan pula bagi seorang yang berburu itu, bukan sedang berihram. Sebab seorang muslim yang sedang berihram berarti dia berada dalam fase kedamaian dan keamanan yang menyeluruh yang berpengaruh sangat luas sekali terhadap alam sekelilingnya, termasuk binatang di permukaan bumi dan burung yang sedang terbang di angkasa, sehingga binatang-binatang itu sekalipun berada di hadapannya dan mungkin untuk ditangkap dengan tangan. Tetapi hal ini adalah justru merupakan ujian dan pendidikan guna membentuk seorang muslim yang berpribadi kuat dan tabah.

Dalam hal ini Allah telah berfirman yang artinya sebagai berikut:

"Hai orang-orang yang beriman! Sungguh Allah menguji kamu dengan sesuatu daripada binatang buruan yang dapat ditangkap oleh tangan-tangan kamu dan tombak-tombak kamu, supaya Allah dapat membuktikan siapakah orang yang takut kepadaNya dengan ikhlas. Maka barangsiapa melanggar sesudah itu, baginya adalah siksaan yang pedih." (al-Maidah: 94)

"Diharamkan atas kamu berburu (binatang) darat selama kamu dalam keadaan berihram." (al-Maidah: 96)

"... padahal kamu tidak dihalalkan berburu, sedang kamu dalam keadaan berihram." (al-Maidah: 1)

2.1.18.2 Syarat yang Berkenaan dengan Binatang yang Diburu

2. Adapun syarat yang berkenaan dengan binatang yang diburu, yaitu hendaknya binatang tersebut tidak memungkinkan ditangkap manusia untuk disembelih pada lehernya. Kalau ternyata memungkinkan binatang tersebut untuk disembelih di lehernya, maka haruslah disembelih dan tidak boleh pindah kepada cara lain, karena menyembelih adalah termasuk pokok.

Begitu juga, kalau ada orang melepaskan panahnya atau anjingnya kemudian menangkap seekor binatang dan ternyata binatang tersebut masih hidup, maka dia harus menjadikan halalnya binatang tersebut dengan disembelih di lehernya sebagaimana lazimnya. Tetapi kalau hidupnya itu tidak menentu, jika disembelih juga baik dan apabila tidak disembelih juga tidak berdosa. Sabda Nabi

"Kalau kamu melepas anjingmu, maka sebutlah asma' Allah atasnya, maka jika anjing itu menangkap untuk kamu dan kamu dapati dia masih hidup, maka sembelihlah." (Riwayat Bukhari dan Muslim)

2.1.18.3 Alat yang Dipakai Untuk Berburu

3. Alat yang dipakai untuk berburu ada dua macam:

a. Alat yang dapat melukai, seperti panah, pedang dan tombak. Sebagaimana diisyaratkan al-Quran dalam firmanNya:

". . . yang dapat ditangkap oleh tangan-tangan kamu dan tombak-tombak kamu. " (al-Maidah: 94)

b. Binatang yang dapat melukai karena berkat didikan yang diberikan, seperti anjing, singa, burung elang, rajawali dan sebagainya. Firman Allah:

"Dihalalkan buat kamu yang baik-baik dan apa-apa yang kamu ajar dari binatang-binatang pemburu. yang terdidik, kamu ajar mereka dari apa-apa yang Allah ajarkan kepadamu." (al-Maidah: 4)

2.1.18.3.1 Berburu Dengan Senjata Tajam

Berburu dengan alat diperlukan dua persyaratan:

1). Hendaknya alat tersebut dapat menembus kulit, dimana binatang tersebut mati karena ketajaman alat tersebut, bukan karena beratnya.

Adi bin Hatim pernah bertanya kepada Rasulullah s.a.w. bahwa ia melempar binatang dengan golok dan mengenainya. Maka jawab Nabi:

"Apabila Kamu melempar dengan golok, dan golok itu dapat menembus (melukai) kulit, maka makanlah. Tetapi kalau yang mengenai itu silangnya, maka janganlah kamu makan." (Riwayat Bukhari, Muslim)

Hadis ini menunjukkan, bahwa yang terpenting ialah lukanya, sekalipun pembunuhan itu dilakukan dengan alat yang berat. Dengan demikian, maka halallah binatang yang diburu dengan peluru dan senjata api dan sebagainya. Karena alat-alat tersebut lebih dapat menembus daripada panah, tombak dan pedang.

Adapun hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad yang berbunyi:

"Jangan kamu makan binatang yang mati karena senapan, kecuali apa-apa yang kamu sembelih."

Dan yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari perkataan Umar dalam bab Binatang yang mati karena senapan, bahwa senapan yang dimaksud di sini, ialah senapan yang pelurunya itu terbuat dari tanah liat, kalau sudah kering kemudian dipakai untuk berburu. Senapan seperti ini bukan senapan yang sebenarnya (menurut pengertian sekarang. Penyusun).

Termasuk senapan jenis ini, ialah berburu dengan menggunakan batu bulat (sebangsa kerikil). Hal ini dengan tegas telah dilarang oleh Nabi dengan sabdanya:

"Bahwa (kerikil) itu tidak dapat untuk memburu binatang dan tidak dapat melukai musuh, tetapi dia dapat menanggalkan gigi dan mencabut mata." (Riwayat Bukhari dan Muslim).

2). Harus disebut asma' Allah ketika melemparkan alat tersebut atau ketika memukulkannya, sebagaimaria apa yang diajarkan Rasulullah s.a.w. kepada Adi bin Hatim. Sedang hadis-hadisnya adalah merupakan asas daripada bab ini.
2.1.18.3.2 Berburu dengan Menggunakan Anjing dan Sebagainya

Kalau berburu itu dengan menggunakan anjing, atau burung elang, misalnya, maka yang diharuskan dalam masalah ini ialah sebagai berikut:

1. Binatang tersebut harus dididik.
2. Binatang tersebut harus memburu untuk kepentingan tuannya. Atau dengan ungkapan yang dipakai al-Quran, yaitu: Hendaknya binatang tersebut menangkap untuk kepentingan tuannya, bukan untuk kepentingan dirinya sendiri.
3. Disebutnya asma' Allah ketika melepas.

Dasar persyaratan ini ialah sebagaimana yang dinyatakan oleh al-Quran:

"Mereka bertanya kepadamu (Muhammad!). Apakah yang dihalalkan buat mereka? Katakanlah: Telah dihalalkan kepadamu yang baik-baik dan apa-apa yang kamu ajar dari binatang-binatang penangkap yang terdidik, yang kamu ajar mereka dari apa-apa yang Allah telah mengajarkan kepadamu, maka makanlah dari apa-apa yang mereka tangkap untuk kamu dan sebutlah asma'Allah atasnya" (al-Maidah: 4)

a) Definisi mengajar, sebagaimana yang dikenal, yaitu kemampuan si tuan untuk memberi komando dan mengarahkan, dimana kalau anjing itu diundang akan datang, kalau dilepas untuk berburu dia akan bertahan dan kalau diusir akan pergi --walaupun definisi ini ada sedikit perbedaan antara ahli-ahli fiqih dalam beberapa hal-- tetapi yang terpenting, yaitu pendidikannya itu dapat dibuktikan menurut kebiasaan yang berlaku.

b) Definisi menangkap untuk tuannya, yaitu bahwa binatang tersebut tidak makan binatang yang ditangkap itu.

Sesuai dengan sabda Rasulullah s.a.w.:

"Kalau kamu melepaskan anjing, kemudian dia makan binatang buruan itu, maka jangan kamu makan dia, sebab berarti dia itu menangkap untuk dirinya sendiri. Tetapi jika kamu lepas dia kemudian dapat membunuh dan tidak makan, maka makanlah karena dia itu menangkap untuk tuannya." (Riwayat Ahmad, dan yang sama dengan hadis ini diriwayatkan juga oleh Imam Bukhari dan Muslim)

Diantara ahli-ahli fiqih ada yang membedakan antara binatang buas sebangsa anjing dan burung sebangsa rajawali. Kalau burung itu makan sedikit dari binatang yang ditangkapnya, maka binatang tersebut boleh dimakan, tetapi apa yang dimakan oleh anjing tidak boleh dimakan.

Hikmah kedua persyaratan ini, yaitu: mendidik anjing dan menangkap untuk tuannya, adalah menunjukkan ketinggian martabat manusia dan kebersihan manusia sehingga tidak mau makan kelebihan atau sisa anjing; dan keberanian anjing itu sendiri dapat memungkinkan untuk mempermainkan jiwa-jiwa yang lemah. Tetapi kalau anjing itu terdidik dan dia menangkap untuk tuannya, maka waktu itu dia berkedudukan sebagai alat yang dipakai oleh pemburu yang tak ubahnya dengan tombak.

3). Sedang menyebut asma' Allah ketika melepas anjing, yaitu seperti menyebut asma' Allah ketika melepaskan panah, tombak atau memukulkan pedang. Dalam hal ini ayat al-Quran telah memerintah dengan tegas "dan sebutlah asma' Allah atasnya" (al-Maidah: 4). Begitu juga beberapa hadis yang sahih, yang di antaranya ialah hadisnya Adi bin Hatim.

Di antara dalil yang menunjukkan persyaratan ini, yaitu kalau ada seekor anjing berburu bersama anjing lainnya, kemudian si tuan itu memakai kedua anjing tersebut, maka binatang yang ditangkap oleh kedua anjing tersebut tidak halal.

Dalam hal.ini Adi pernah bertanya kepada Nabi sebagai berikut:

"Aku melepaskan anjingku, tetapi kemudian kudapati anjingku itu bersama anjing lain, aku sendiri tidak tahu anjing manakah yang menangkapnya? Maka jawab Nabi. Jangan kamu makan, sebab kamu menyebut asma' Allah itu pada anjingmu, sedang anjing yang lain tidak." (Riwayat Ahmad)

Kemudian kalau lupa tidak menyebut asma' Allah baik ketika memanah ataupun ketika melepas anjing, maka dalam hal ini Allah tidak mengambil suatu tindakan hukum kepada orang yang lupa dan keliru. Oleh karena itu susullah penyebutan asma' Allah itu ketika makan, sebagaimana telah terdahulu pembicaraannya dalam bab menyembelih.

Tentang hikmah menyebut asma' Allah telah kami jelaskan dalam bab penyembelihan, maka apa yang dikatakan di sana, begitulah yang dikatakan di bab ini juga.


Halal dan Haram dalam Islam
Oleh Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi
Alih bahasa: H. Mu'ammal Hamidy
Penerbit: PT. Bina Ilmu, 1993

Read More......

Ghibah (Mengumpat)

Keenam: Kita dilarang ghibah (mengumpat). Seperti firman Allah:

"Dan jangan sebagian kamu mengumpat sebagiannya." (al-Hujurat: 12)

Rasulullah s.a.w. berkehendak akan mempertajam pengertian ayat tersebut kepada sahabat-sahabatnya yang dimulai dengan cara tanya-jawab, sebagaimana tersebut di bawah ini:

"Bertanyalah Nabi kepada mereka: Tahukah kamu apakah yang disebut ghibah itu? Mereka menjawab: Allah dan RasulNya yang lebih tahu. Maka jawab Nabi, yaitu: Kamu membicarakan saudaramu tentang sesuatu yang ia tidak menyukainya. Kemudian Nabi ditanya: Bagaimana jika pada saudaraku itu terdapat apa yang saya katakan tadi? Rasulullah s.a.w. menjawab: Jika padanya terdapat apa yang kamu bicarakan itu, maka berarti kamu mengumpat dia, dan jika tidak seperti apa yang kamu bicarakan itu, maka berarti kamu telah menuduh dia." (Riwayat Muslim, Abu Daud, Tarmizi dan Nasa'i)

Manusia tidak suka kalau bentuknya, perangainya, nasabnya dan ciri-cirinya itu dibicarakan. Seperti tersebut dalam hadis berikut ini:

"Dari Aisyah ia berkata: saya pernah berkata kepada Nabi: kiranya engkau cukup (puas) dengan Shafiyah begini dan begini, yakni dia itu pendek, maka jawab Nabi: Sungguh engkau telah berkata suatu perkataan yang andaikata engkau campur dengan air laut niscaya akan bercampur." (Riwayat Abu Daud, Tarmizi dan Baihaqi)

Ghibah adalah keinginan untuk menghancurkan orang, suatu keinginan untuk menodai harga diri, kemuliaan dan kehormatan orang lain, sedang mereka itu tidak ada di hadapannya. Ini menunjukkan kelicikannya, sebab sama dengan menusuk dari belakang. Sikap semacam ini salah satu bentuk daripada penghancuran. Sebab pengumpatan ini berarti melawan orang yang tidak berdaya.

Ghibah disebut juga suatu ajakan merusak, sebab sedikit sekali orang yang lidahnya dapat selamat dari cela dan cerca.

Oleh karena itu tidak mengherankan, apabila al-Quran melukiskannya dalam bentuk tersendiri yang cukup dapat menggetarkan hati dan menumbuhkan perasaan.

Firman Allah:

"Dan jangan sebagian kamu mengumpat sebagiannya; apakah salah seorang di antara kamu suka makan daging bangkai saudaranya padahal mereka tidak menyukainya?!" (al-Hujurat: 12)

Setiap manusia pasti tidak suka makan daging manusia.

Maka bagaimana lagi kalau daging saudaranya? Dan bagaimana lagi kalau daging itu telah menjadi bangkai?

Nabi memperoleh pelukisan al-Quran ini ke dalam fikiran dan mendasar di dalam hati setiap ada kesempatan untuk itu.

Ibnu Mas'ud pernah berkata:

"Kami pernah berada di tempat Nabi s.a.w., tiba-tiba ada seorang laki-laki berdiri meninggalkan majlis, kemudian ada seorang laki-laki lain mengumpatnya sesudah dia tidak ada, maka kata Nabi kepada laki-laki ini: Berselilitlah kamu! Orang tersebut bertanya: Mengapa saya harus berselilit sedangkan saya tidak makan daging? Maka kata Nabi: Sesungguhnya engkau telah makan daging saudaramu." (Riwayat Thabarani dan rawi-rawinya rawi-rawi Bukhari)

Dan diriwayatkan pule oleh Jabir, ia berkata:

"Kami pernah di tempat Nabi s.a.w. kemudian menghembuslah angin berbau busuk. Lalu bertanyalah Nabi: Tahukah kamu angin apa ini? Ini adalah angin (bau) nya orang-orang yang mengumpat arang-orang mu'min." (Riwayat Ahmad dan rawi-rawinya kepercayaan)

4.4.2.6.1 Batas Perkenan Ghibah

Seluruh nas ini menunjukkan kesucian kehormatan pribadi manusia dalam Islam. Akan tetapi ada beberapa hal yang oleh ulama-ulama Islam dikecualikan, tidak termasuk ghibah yang diharamkan. Tetapi hanya berlaku di saat darurat.

Diantara yang dikecualikan, yaitu seorang yang dianiaya melaporkan halnya orang yang menganiaya, kemudian dia menyebutkan kejahatan yang dilakukannya. Dalam hal ini Islam memberikan rukhshah untuk mengadukannya.

Firman Allah:

"Allah tidak suka kepada perkataan jelek yang diperdengarkan, kecuali (dari) orang yang teraniaya, dan adalah Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui." (an-Nisa': 148)

Kadang-kadang ada seseorang bertanya tentang pribadi orang lain karena ada maksud mengadakan hubungan dagang, atau akan mengawinkan anak gadisnya atau untuk menyerahkan suatu urusan yang sangat penting kepadanya.

Di sini ada suatu kontradiksi antara suatu keharusan untuk mengikhlaskan diri kepada agama, dan kewajiban melindungi kehormatan orang yang tidak di hadapannya. Akan tetapi kewajiban pertama justru lebih penting dan suci. Untuk itu kewajiban pertama harus didahulukan daripada kewajiban kedua.

Dalam sebuah kisah dituturkan, bahwa Fatimah binti Qais pernah menyampaikan kepada Nabi tentang maksud dua orang yang akan meminangnya. Maka jawab Nabi kepadanya: "Sesungguhnya dia (yang pertama) sangat miskin tidak mempunyai uang, dan Nabi menerangkan tentang yang kedua, bahwa dia itu tidak mau meletakkan tongkatnya dari pundaknya, yakni: dia sering memukul perempuan."

Dan termasuk yang dikecualikan juga yaitu: karena bertanya, minta tolong untuk mengubah suatu kemungkaran terhadap seseorang yang mempunyai nama, gelar atau sifat yang tidak baik tetapi dia hanya dikenal dengan nama-nama tersebut. Misalnya: A'raj (pincang), A'masy (rabun) dan anak si Anu.

Termasuk yang dikecualikan juga, yaitu menerangkan cacatnya saksi dan rawi-rawi hadis.32

Definisi umum tentang bentuk-bentuk pengecualian ini ada dua:

1. Karena ada suatu kepentingan.
2. Karena suatu niat.

4.4.2.6.1.1 Karena suatu kepentingan

Jadi kalau tidak ada kepentingan yang mengharuskan membicarakan seorang yang tidak hadir dengan sesuatu yang tidak disukainya, maka tidak boleh memasuki daerah larangan ini. Dan jika kepentingan itu dapat ditempuh dengan sindiran, maka tidak boleh berterang-terangan atau menyampaikan secara terbuka. Dalam hal ini tidak boleh memakai takhshish (pengecualian) tersebut.

Misalnya seorang yang sedang minta pendapat apabila memungkinkan untuk mengatakan: "bagaimana pendapatmu tentang seseorang yang berbuat begini dan begini," maka dia tidak boleh mengatakan: "bagaimana pendapatmu tentang si Anu bin si Anu."

Semua ini dengan syarat tidak akan membicarakan sesuatu di luar apa yang ada. Kalau tidak, berarti suatu dosa dan haram.
4.4.2.6.1.2 Karena suatu niat

Adanya suatu niat di balik ini semua, merupakan suatu pemisahan. Sebab pribadi manusia itu sendiri yang lebih mengetahui dorongan hatinya daripada orang lain. Maka niatlah yang dapat membedakan antara perbuatan zalim dan mengobati, antara minta pendapat dengan menyiar-nyiarkan, antara ghibah dengan mengoreksi dan antara nasehat dengan memasyhurkan. Sedang seorang mu'min, seperti dikatakan oleh suatu pendapat, adalah yang lebih berhak untuk melindungi dirinya daripada raja yang kejam dan kawan yang bakhil.

Hukum Islam menetapkan, bahwa seorang pendengar adalah rekan pengumpat. Oleh karena itu dia harus menolong saudaranya yang di umpat itu dan berkewajiban menjauhkannya. Seperti yang diungkapkan oleh hadis Rasulullah sa,w.:

"Barangsiapa menjauhkan seseorang dari mengumpat diri saudaranya, maka adalah suatu kepastian dari Allah, bahwa Allah akan membebaskan dia dari Neraka." (Riwayat Ahmad dengan sanad hasan)

"Barangsiapa menghalang-halangi seseorang dari mengumpat harga diri saudaranya, maka Allah akan menghalang-halangi dirinya dari api neraka, kelak di hari kiamat." (Riwayat Tarmizi dengan sanad hasan)

Barangsiapa tidak mempunyai keinginan ini dan tidak mampu menghalang-halangi mulut-mulut yang suka menyerang kehormatan saudaranya itu, maka kewajiban yang paling minim, yaitu dia harus meninggalkan tempat tersebut dan membelokkan kaum tersebut, sehingga mereka masuk ke dalam pembicaraan lain. Kalau tidak, maka yang tepat dia dapat dikategorikan dengan firman Allah:

"Sesungguhnya kamu, kalau demikian adalah sama dengan mereka" (an-Nisa': 140)

4.4.2.7 Mengadu Domba

Ketujuh: Kalau ghibah dalam Islam disebut sebagai suatu dosa, maka ada suatu perbuatan yang lebih berat lagi, yaitu mengadu domba (namimah). Yaitu memindahkan omongan seseorang kepada orang yang dibicarakan itu dengan suatu tujuan untuk menimbulkan permusuhan antara sesama manusia, mengotori kejernihan pergaulan dan atau menambah keruhnya pergaulan.

Al-Quran menurunkan ayat yang mencela perbuatan hina ini sejak permulaan perioda Makkah. Firman Allah:

"Dan jangan kamu tunduk kepada orang yang suka sumpah yang hina, yang suka mencela orang, yang berjalan ke sana ke mari dengan mengadu domba." (al-Qalam: 10-11)

Dan sabda Rasulullah s.a.w.:

"Tidak masuk sorga orang-orang yang suka mengadu domba." (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Qattat, kadang-kadang disebut juga nammam, yaitu seorang berkumpul bersama orang banyak yang sedang membicarakan suatu pembicaraan, kemudian dia menghasut mereka.

Dan qattat itu sendiri, yaitu seseorang yang memperdengarkan sesuatu kepada orang banyak padahal mereka tidak mengetahuinya, kemudian dia menghasut mereka itu.

Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:

"Sejelek-jelek hamba Allah yaitu orang-orang berjalan ke sana ke mari dengan mengadu domba, yang memecah-belah antara kekasih, yang suka mencari-cari cacat orang-orang yang baik." (Riwayat Ahmad)

Islam, dalam rangka memadamkan pertengkaran dan mendamaikan pertentangan, membolehkan kepada juru pendamai itu untuk merahasiakan omongan tidak baik yang dia ketahui dari omongan seseorang tentang diri orang lain. Dan boleh juga dia menambah omongan baik yang tidak didengarnya. Seperti yang dikatakan Nabi dalam hadisnya:

"Tidak termasuk dusta orang yang mendamaikan antara dua orang, kemudian dia berkata baik atau menambah suatu omongan baik."

Islam sangat membenci orang-orang yang suka mendengarkan omongan jelek, kemudian cepat-cepat memindahkan omongan itu dengan menambah-nambah untuk memperdaya atau karena senang adanya kehancuran dan kerusakan.

Manusia semacam ini tidak mau membatasi diri sampai kepada apa yang didengar itu saja, sebab keinginan untuk menghancurkan itulah yang mendorongnya menambah omongan yang mereka dengar. Dan jika mereka tidak mendengar, mereka berdusta.

Kata seorang penyair:

Kalau mereka mendengar kebaikan, disembunyikan
Dan kalau mendengarkan kejelekan, disiarkan
tetapi jika tidak mendengar apa-apa, ia berdusta.

Ada seorang laki-laki masuk ke tempat Umar bin Abdul Aziz, kemudian membicarakan tentang hal seseorang yang tidak disukainya. Maka berkatalah Umar kepada si laki-laki tersebut; kalau boleh kami akan menyelidiki permasalahanmu itu. Tetapi jika kamu berdusta, maka kamu tergolong orang yang disebutkan dalam ayat ini:

"Jika datang kepadamu seorang fasik dengan membawa suatu berita, maka selidikilah." (al-Hujurat: 6)

Dan jika kamu benar, maka kamu tergolong orang yang disebutkan dalam ayat:

"Orang yang suka mencela, yang berjalan ke sana ke mari dengan mengadu domba." (al-Qalam: 11)

Tetapi kalau kamu suka, saya akan memberi pengampunan. Maka jawab orang laki-laki tersebut: pengampunan saja ya amirul mu'minin, saya berjanji tidak akan mengulangi lagi.






Halal dan Haram dalam Islam
Oleh Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi
Alih bahasa: H. Mu'ammal Hamidy
Penerbit: PT. Bina Ilmu, 1993

Read More......

Mendamaikan Persengketaan

Kalau cuaca pertengkaran itu telah cerah kembali sesuai dengan keharusan bersaudara, maka bagi masyarakat Islam mempunyai kewajiban lain. Sebab sepanjang pengertian masyarakat Islam yaitu suatu masyarakat yang saling saling membantu dan saling menolong. Oleh karena itu tidak boleh sementara orang melihat saudaranya bertengkar dan saling membunuh, kemudian dia berdiri sebagai penonton, dan membiarkan api bertambah menyala dan kebakaran makin meluas. Bahkan setiap orang yang arif dan bijaksana serta ada kemampuan, harus terjun ke gelanggang guna mendamaikan persengketaan itu dengan niat semata-mata mencari kebenaran dan jauh dari pengaruh hawa nafsu. Seperti apa yang difirmankan Allah:

"... maka adakanlah perdamaian di antara saudara-saudaramu, dan takutlah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat." (al-Hujurat: 10)

Dalam salah satu hadisnya Rasulullah s.a.w. pernah menjelaskan tentang keutamaan mendamaikan ini, serta bahayanya pertentangan dan perpisahan. Sabda Rasulullah s.a.w.:

"Maukah kamu saya tunjukkan suatu perbuatan yang lebih utama daripada tingkatan keutamaan sembahyang, puasa dan sedekah? Mereka menjawab: Baiklah ya Rasulullah! Maka bersabdalah Rasulullah s.a.w.: yaitu mendamaikan persengketaan yang sedang terjadi; sebab kerusakan karena persengketaan berarti menggundul, saya tidak mengatakan menggundul rambut, tetapi menggundul agama." (Riwayat Tarmizi dan lain-lain)

4.4.2.1 Jangan Ada Suatu Golongan Memperolokkan Golongan Lain

Dalam ayat-ayat yang telah kami sebutkan terdahulu terdapat sejumlah hal yang dilarang oleh Allah, demi melindungi persaudaraan dan kehormatan manusia.

Larangan pertama. tentang memperolokkan orang lain. Oleh karena itu tidak halal seorang muslim yang mengenal Allah dan mengharapkan hidup bahagia di akhirat kelak, memperolokkan orang lain, atau menjadikan sementara orang sebagai objek permainan dan perolokannya. Sebab dalam hal ini ada unsur kesombongan yang tersembunyi dan penghinaan kepada orang lain, serta menunjukkan suatu kebodohannya tentang neraca kebajikan di sisi Allah. Justru itu Allah mengatakan: "Jangan ada suatu kaum memperolokkan kaum lain, sebab barangkali mereka yang diperolokkan itu lebih baik daripada mereka yang memperolokkan; dan jangan pula perempuan memperolokkan perempuan lain, sebab barangkali mereka yang diperolokkan itu lebih baik daripada mereka yang memperolokkan."

Yang dinamakan baik dalam pandangan Allah, yaitu: iman, ikhlas dan mengadakan kontak yang baik dengan Allah. Bukan dinilai dari rupa, badan, pangkat dan kekayaan.

Dalam hadisnya Rasulullah s.a.w. mengatakan:

"Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa kamu dan kekayaan kamu, tetapi Allah melihat hati kamu dan amal kamu." (Riwayat Muslim)

Bolehkah seorang laki-laki atau perempuan diperolokkan karena suatu cacat di badannya, perangainya atau karena kemiskinannya?

Dalam sebuah riwayat diceriterakan, bahwa Ibnu Mas'ud pernah membuka betisnya dan nampak kecil sekali. Maka tertawalah sebagian orang. Lantas Rasulullah s.a.w. bersabda:

"Apakah kamu mentertawakan kecilnya betis Ibnu Mas'ud, demi Allah yang diriku dalam kekuasaanNya: bahwa kedua betisnya itu timbangannya lebih berat daripada gunung Uhud." (Riwayat Thayalisi dan Ahmad)

Al-Quran juga menghikayatkan tentang orang-orang musyrik yang memperolok orang-orang mu'min, lebih-lebih mereka yang lemah --seperti Bilal dan 'Amman-- kelak di hari kiamat, neraca menjadi terbalik, yang mengolok-olok menjadi yang diolok-olok dan ditertawakan,

Firman Allah:

"Sesungguhnya orang-orang yang durhaka itu mentertawakan orang-orang yang beriman. Dan apabila mereka melalui mereka, mereka berlirik-lirikan. Dan apabila mereka kembali kepada keluarganya, mereka kembali dengan suka cita. Dan apabila mereka melihat mereka itu, mereka berkata: 'Sungguh mereka itu orang-orang yang sesat.' Padahal mereka itu tidak diutus untuk menjadi pengawal atas mereka. Oleh karena itu pada hari ini orang-orang mu'min akan mentertawakan orang-orang kafir itu." (al-Muthaffifin 29-34)

Ayat ini31 dengan tegas dan jelas menyebutkan dilarangnya perempuan mengolok-olok orang lain, padahal perempuan sudah tercakup dalam kandungan kata kaum. Ini menunjukkan, bahwa pengolok-olokan sementara perempuan terhadap yang lain, termasuk hal yang biasa terjadi di kalangan mereka.
4.4.2.2 Jangan Mencela Diri-Diri Kamu

Larangan kedua: Tentang lumzun, yang menurut arti lughawi berarti: al-wakhzu (tusukan) dan ath-tha'nu (tikaman). Sedang lumzun yang dimaksud di sini ialah: 'aib (cacat). Jadi seolah-olah orang yang mencela orang lain, berarti menusuk orang tersebut dengan ketajaman pedangnya, atau menikam dengan hujung tombaknya.

Penafsiran ini tepat sekali. Bahkan kadang-kadang tikaman lidah justru lebih hebat. Seperti kata seorang penyair:

Luka karena tombak masih dapat diobati
Tetapi luka karena lidah berat untuk diperbaiki.
Bentuk larangan dalam ayat ini mempunyai suatu isyarat yang indah sekali.

Ayat tersebut mengatakan: laa talmizu anfusakum (jangan kamu mencela diri-diri kamu). Ini tidak berarti satu sama lain saling cela-mencela. Tetapi al-Quran menuturkan dengan jama'atul mu'minin, yang seolah-olah mereka itu satu tubuh. Sebab mereka itu secara keseluruhannya saling membantu dan menolong. Jadi barangsiapa mencela saudaranya, berarti sama dengan mencela dirinya sendiri. Karena dia itu dari dan untuk saudaranya.
4.4.2.3 Jangan Memberi Gelar dengan Gelar-Gelar yang Tidak Baik

Ketiga: Termasuk mencela yang diharamkan, ialah: memberi gelar dengan beberapa gelar yang tidak baik, yaitu suatu panggilan yang tidak layak dan tidak menyenangkan yang membawa kepada suatu bentuk penghinaan dan celaan.

Tidak layak seorang manusia berbuat jahat kepada kawannya. Dipanggilnya kawannya itu dengan gelar yang tidak menyenangkan bahkan menjengkelkan. Ini bisa menyebabkan berubahnya hati dan permusuhan sesama kawan serta menghilangkan jiwa kesopanan dan perasaan yang tinggi.
4.4.2.4 Su'uzh-Zhan (Berburuk Sangka)

Keempat: Islam menghendaki untuk menegakkan masyarakatnya dengan penuh kejernihan hati dan rasa percaya yang timbal balik; bukan penuh ragu dan bimbang, menuduh dan bersangka-sangka,

Untuk itu, maka datanglah ayat al-Quran membawakan keempat sikap yang diharamkan ini, demi melindungi kehormatan orang lain. Maka berfirmanlah Allah:

"Hai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak menyangka, karena sesungguhnya sebagian sangkaan itu berdosa." (al-Hujurat: 12)

Sangkaan yang berdosa, yaitu sangkaan yang buruk.

Oleh karena itu tidak halal seorang muslim berburuk sangka terhadap saudaranya, tanpa suatu alasan dan bukti yang jelas. Sebab manusia secara umum pada asalnya bersih. Oleh karena itu prasangka-prasangka tidak layak diketengahkan dalam arena kebersihan ini justru untuk menuduh. Sabda Nabi:

"Hati-hatilah kamu terhadap prasangka, karena sesungguhnya prasangka itu sedusta-dusta omongan." (Riwayat Bukhari)

Manusia karena kelemahan sifat kemanusiaannya, tidak dapat menerima prasangka dan tuduhan oleh sebagian manusia, lebih-lebih terhadap orang-orang yang tidak ada hubungan baik.

Oleh karena itu sikap yang harus ditempuh, dia harus tidak menerima tuduhan itu dan berjalan mengikuti suara nafsu tersebut.

Inilah makna hadis Nabi yang mengatakan:

"Kalau kamu akan menyangka, maka jangan kamu nyatakan." (Riwayat Thabarani)

4.4.2.5 Tajassus (Memata-matai)

Kelima: Tidak adanya kepercayaan terhadap orang lain, menyebabkan seseorang untuk melakukan perbuatan batin yang disebut su'uzh-zhan dan melakukan perbuatan badan yang berbentuk tajassus. Sedang Islam bertujuan menegakkan masyarakatnya dalam situasi bersih lahir dan batin. Oleh karena itu larangan bertajassus ini dibarengi dengan larangan su'uzh-zhan (berburuk sangka). Dan banyak sekali su'uzh-zhan ini terjadi karena adanya tajassus.

Setiap manusia mempunyai kehormatan diri yang tidak boleh dinodai dengan tajassus dan diselidiki cacat-cacatnya, sekalipun dia berbuat dosa, selama dilakukan dengan bersembunyi.

Abul Haitsam sekretaris Uqbah bin 'Amir --salah seorang sahabat Nabi-- berkata: saya pernah berkata kepada Uqbah: saya mempunyai tetangga yang suka minum arak dan akan saya panggilkan polisi untuk menangkapnya. Maka kata Uqbah: Jangan! Tetapi nasehatilah mereka itu dan peringatkanlah. Abul Haitsam menjawab: Sudah saya larang tetapi mereka tidak mau berhenti, dan tetap akan saya panggilkan polisi untuk menangkapnya. Uqbah berkata: Celaka kamu! Jangan! Sebab saya pernah mendengar Rasulullah s.a.w. berkata:

"Barangsiapa menutupi suatu cacat, maka seolah-olah ia telah menghidupkan anak yang ditanam hidup-hidup dalam kuburnya." (Riwayat Abu Daud, Nasa'i, Ibnu Hibban)

Rasulullah s.a.w. menilai, bahwa menyelidiki cacat orang lain itu termasuk perbuatan orang munafik yang mengatakan beriman dengan lidahnya tetapi hatinya membenci. Kelak mereka akan dibebani dosa yang berat di hadapan Allah.

Dalam hadis Nabi yang diriwayatkan dari Ibnu Umar ia berkata: Rasulullah s.a.w, pernah naik mimbar kemudian menyeru dengan suara yang keras:

"Hai semua orang yang telah menyatakan beriman dengan lidahnya tetapi iman itu belum sampai ke dalam hatinya! Janganlah kamu menyakiti orang-orang Islam dan jangan kamu menyelidiki cacat-cacat mereka. Sebab barangsiapa menyelidiki cacat saudara muslim, maka Allah pun akan menyelidiki cacatnya sendiri; dan barangsiapa yang oleh Allah diselidiki cacatnya, maka Ia akan nampakkan kendatipun dalam perjalanan yang jauh." (Riwayat Tarmizi dan Ibnu Majah)

Maka demi melindungi kehormatan orang lain, Rasulullah s.a.w. mengharamkan dengan keras seseorang mengintip rumah orang lain tanpa izin; dan ia membenarkan pemilik rumah untuk melukainya. Seperti sabda Nabi:

"Barangsiapa mengintip rumah suatu kaum tanpa izin mereka, maka halal buat mereka untuk menusuk matanya." (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Diharamkan juga mendengar-dengarkan omongan mereka tanpa sepengetahuan dan perkenannya. Sabda Nabi:

"Barangsiapa mendengar-dengarkan omongan suatu kaum; sedang mereka itu tidak suka, maka kelak di hari kiamat kedua telinganya akan dituangi cairan timah." (Riwayat Bukhari)

Al-Quran mewajibkan kepada setiap muslim yang berkunjung ke rumah kawan, supaya jangan masuk lebih dahulu, sehingga ia minta izin dan memberi salam kepada penghuninya.

Firman Allah:

"Hai orang-orang yang beriman! Jangan kamu masuk rumah selain rumah-rumah kamu sendiri, sehingga kamu minta izin lebih dahulu dan memberi salam kepada pemiliknya. Yang demikian itu lebih baik bagi kamu, supaya kamu ingat. Maka jika kamu tidak menjumpai seorang pun dalam rumah itu, maka jangan kamu masuk, sehingga kamu diberi izin. Dan jika dikatakan kepadamu: kembalilah! Maka kembalilah kamu. Yang demikian itu lebih bersih buat kamu, dan Allah Maha Menge tahui apa saja yang kamu kerjakan." (an-Nur: 27-28)

Di dalam hadis Nabi, juga dikatakan:

"Barangsiapa membuka tabir kemudian dia masukkan pandangannya sebelum diizinkan, maka sungguh dia telah melanggar suatu hukum yang tidak halal baginya untuk dikerjakan." (Riwayat Ahmad dan Tarmizi)

Nas-nas larangan tentang tajassus dan menyelidiki cacat orang lain ini meliputi hakim dan yang terhukum, seperti yang diterangkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Mu'awiyah dari Rasulullah s.a.w. ia bersabda:

"Sesungguhnya kamu jika menyelidiki carat orang lain, berarti kamu telah merusak mereka atau setidak-tidaknya hampir- merusak mereka itu." (Riwayat Abu Daud dan ibnu Hibban)

Abu Umamah meriwayatkan dari Rasulullah s.a.w., ia bersabda:

"Sesungguhnya seorang kepala apabila mencari keraguraguan terhadap orang lain, maka ia telah merusak mereka." (Riwayat Abu Daud)


Halal dan Haram dalam Islam
Oleh Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi
Alih bahasa: H. Mu'ammal Hamidy
Penerbit: PT. Bina Ilmu, 1993

Read More......

Macam-Macam Hiburan yang Halal

Ada beberapa macam permainan dan seni hiburan yang disyariatkan Rasulullah s.a.w, untuk kaum muslimin, guna memberikan kegembiraan dan hiburan mereka. Di mana hiburan itu sendiri dapat mempersiapkan diri untuk menghadapi ibadah dan melaksanakan kewajiban dan lebih banyak mendatangkan ketangkasan dan keinginan.

Hiburan-hiburan tersebut kebanyakannya bentuk suatu latihan yang dapat mendidik mereka kepada manusia berjiwa kuat, dan mempersiapkan mereka untuk maju ke medan jihad fi sabilillah.

Di antara hiburan-hiburan itu ialah sebagai berikut:
4.3.4.1 Perlombaan Lari Cepat

Para sahabat dulu biasa mengadakan perlombaan lari cepat, sedang Nabi sendiri membolehkannya. Ali adalah salah seorang yang paling cepat.

Rasulullah s.a.w. sendiri mengadakan pertandingan dengan isterinya guna memberikan pendidikan kesederhanaan dan kesegaran serta mengajar kepada sahabat-sahabatnya.

Aisyah mengatakan:

"Rasulullah bertanding dengan saya dan saya menang. Kemudian saya berhenti, sehingga ketika badan saya menjadi gemuk, Rasulullah bertanding lagi dengan saya dan ia menang, kemudian ia bersabda: Kemenangan ini untuk kemenangan itu." (Riwayat Ahmad dan Abu Daud); yakni seri.

4.3.4.2 Gulat

Rasulullah s.a.w. pernah gulat dengan seorang laki-laki yang terkenal kuatnya, namanya Rukanah. Permainan ini dilakukan beberapa kali. (Riwayat Abu Daud).

Dalam satu riwayat dikatakan:

"Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. gulat dengan Rukanah yang terkenal kuatnya itu, kemudian ia berkata: domba lawan domba. Kemudian Nabi bergulat, dan ia berkata: berjanjilah dengan saya. untuk lain kali lagi, lantas Nabi bergulat, dan ia berkata: berjanjilah dengan saya, lantas Nabi bergulat untuk ketiga kalinya. Lantas seorang laki-laki itu bertanya: Apa yang harus saya katakan kepada keluargaku? Nabi menjawab: Katakan "domba telah dimakan oleh serigala, dan larilah domba." Kemudian apa pula yang aku katakan untuk yang ketiga? Nabi menjawab: Kami tidak dapat mengalahkan kamu untuk bergulat dengan kamu dan untuk mengalahkan kamu, karena itu ambillah hadiahmu."

Dari hadis ini ahli-ahli fiqih beristimbat hukum tentang dibenarkannya pertandingan lari cepat, baik dia itu dilakukan antara laki-laki dengan laki-laki atau antara laki-laki dengan perempuan mahramnya atau dengan isteri-isterinya.

Dari hadis-hadis itu pula ulama fiqih berpendapat bahwa pertandingan lari cepat, gulat dan sebagainya tidak menghilangkan kekhusyukan, kehormatan, pengetahuan, keutamaan dan lanjutnya umur. Sebab Rasulullah s.a.w. sendiri waktu bergulat dengan Aisyah sudah berumur di atas 50 tahun.
4.3.4.3 Memanah

Di antara hiburan yang dibenarkan oleh syara' ialah bermain memanah dan perang-perangan. Sebab di satu saat Nabi pernah berjalan-jalan menjumpai sekelompok sahabatnya yang sedang mengadakan pertandingan memanah, maka waktu itu Rasulullah s.a.w. memberikan dorongan kepada mereka dengan sabdanya:

"Lemparkanlah panahmu itu, saya bersama kamu." (Riwayat Bukhari)

Pertandingan lempar panah itu bukan sekedar hobby atau sekedar bermain-main saja, tetapi salah satu bentuk daripada mempersiapkan kekuatan sebagai yang diperintah Allah dalam firmanNya:

"Dan bersiap-siaplah kamu untuk menghadapi mereka (musuh) dengan kekuatan yang kamu sanggup."

Dalam menafsirkan ayat ini Rasulullah bersabda:

"Ketahuilah! Bahwa yang dimaksud 'kekuatan' itu ialah memanah - beliau ucapkan kata-kata itu tiga kali." (Riwayat Muslim)

Dan sabdanya pula:

"Kamu harus belajar memanah karena memanah itu termasuk sebaik-baik permainanmu." (Riwayat Bazzar, dan Thabarani dengan sanad yang baik)

Namun begitu, Rasulullah s.a.w. memperingatkan para pemain agar tidak menjadikan binatang-binatang jinak dan sebagainya sebagai sasaran latihannya, sebagaimana yang biasa dilakukan oleh orang-orang Arab jahiliah.

Abdullah bin Umar pernah melihat sekelompok manusia yang sedang berbuat demikian, kemudian Ibnu Umar mengatakan:

"Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. melaknat orang yang menjadikan sesuatu yang bernyawa sebagai sasaran memanah." (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Dilarangnya permainan seperti itu karena terdapat unsur-unsur penyiksaan terhadap binatang dan merenggut jiwa binatang serta memungkinkan untuk membuang-buang harta, Tidak benar kalau permainan manusia itu dengan mengorbankan makhluk hidup yang lain.

Justru itu pula Rasulullah s.a.w. melarang mengadu binatang26 seperti yang dilakukan orang-orang Arab dahulu, yaitu mereka membawa dua ekor domba atau sapi kemudian diadu sampai mati atau hampir mati. Lantas mereka senang dan tertawa.

Para ulama berkata: "Bahwa prinsip dilarangnya mengadu binatang, karena terdapatnya unsur menyakiti dan melumpuhkan binatang tanpa faedah, tetapi hanya sekedar bermain-main."
4.3.4.4 Main Anggar

Yang sama dengan permainan memanah, ialah main anggar.

Dalam hal ini Rasulullah s.a.w. telah memberi perkenan kepada orang-orang Habasyah (Ethiopia) bermain anggar di dalam Masjid Nabawi, dan ia pun memberi perkenan pula kepada Aisyah untuk menyaksikan permainan itu. Dan kepada para pemain Rasulullah mengatakan:

"Karena kamu (kami melihat), hai bani Arfidah."

Panggilan Bani Arfidah adalah suatu julukan yang biasa dipergunakan orang-orang Arab untuk memanggil penduduk Habasyah.

Umar, karena wataknya tidak suka bermain-main, maka dia bermaksud akan melarang orang-orang Habasyah yang sedang bermain itu, tetapi kemudian dilarang oleh Nabi. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, ia berkata:

"Ketika orang-orang Habasyah sedang bermain anggar dihadapan Nabi, tiba-tiba Umar masuk, kemudian mengambil kerikil dan melemparkannya kepada mereka. Kemudian Rasulullah s.a.w. berkata kepada Umar.--biarkanlah mereka itu, hai Umar." (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Ini merupakan suatu kelapangan dari Rasulullah s.a.w. dengan mengizinkan permainan seperti ini dilakukan di Masjidnya yang mulia itu, agar di dalam masjid dapat dipadukan antara kepentingan duniawi dan ukhrawi; dan sebagai suatu pendidikan buat kaum muslimin, agar mereka suka bekerja di waktu bekerja dan bermain-main di waktu main-main. Di samping itu, bahwa permainan semacam ini bukan sekedar bermain-main saja, tetapi suatu permainan yang bermotif latihan.

Para ulama berkata setelah membawakan hadis ini sebagai berikut: "Bahwa masjid dibuat adalah demi kepentingan urusan kaum muslimin. Oleh karena itu apa saja yang kiranya bermanfaat untuk agama dan manusia, maka bolehlah dikerjakan di masjid."

Kiranya kaum muslimin di zaman-zaman terakhir ini mau memperhatikan, mengapa masjid-masjid mereka itu dikosongkan dari jiwa hidup dan kekuatan, dan dibiarkan sebagai tempat orang-orang apatis.

Pengarahan Nabi dalam mendidik dan memberikan hiburan hati isteri-isterinya, yaitu dengan memperkenankan permainan yang mubah seperti itu. Sehingga kata Aisyah:

"Sungguh saya saksikan Nabi membatas saya dengan selendangnya, sedang saya melihat orang-orang Habasyah itu bermain di dalam masjid, sehingga saya sendiri yang merasa bosan. Mereka itu lincah selincah gadis muda belia yang masih suka bermain." (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Aisyah juga berkata:

"Saya pernah bermain-main dengan boneka perempuan di rumah Rasulullah s.a.w., bersama kawan-kawan saya perempuan yang juga bermain-main dengan saya; dan tatkala Rasulullah s.a.w. masuk, mereka itu bersembunyi, tetapi Rasulullah s.a.w. senang melihat mereka itu bersamaku, kemudian mereka bermain-main bersamaku lagi." (Riwayat Bukhari dan Muslim)

4.3.4.5 Menunggang Kuda (Berpacu Kuda)

Allah s.w.t. berfirman:

"Kuda, keledai dan himar adalah supaya kamu naiki dan sebagai perhiasan." (an-Nahl: 8)

Dan bersabda Rasulullah s.a.w.:

"Kuda itu diikat jambulnya untuk kebaikan." (Riwayat Bukhari)

Dan sabdanya pula:

"Lemparkanlah (panah) dan tunggangilah (kuda)." (Riwayat Muslim)

Dan sabdanya lagi:

"Tiap-tiap sesuatu yang bukan zikrullah berarti permainan dan kelalaian, kecuali empat perkara: (1) Seorang laki-laki berjalan antara dua sasaran (untuk memanah). (2) Seorang yang mendidik kudanya. (3) Bermain-mainnya seseorang dengan isterinya. (4) Belajar berenang." (Riwayat Thabarani)

Dan berkatalah Umar:

"Ajarlah anak-anakmu berenang dan memanah; dan perintahlah mereka supaya melompat di atas punggung kuda."

Ibnu Umar meriwayatkan.

"Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. pernah mengadakan pacuan kuda dan memberi hadiah kepada pemerangnya." (Riwayat Ahmad)

Semua ini sebagai dorongan Nabi terhadap masalah pacuan kuda. Sebab berpacu kuda sebagaimana kami katakan di atas, adalah permainan, olahraga juga suatu latihan.

Anas pernah ditanya: apakah kamu pernah bertaruh di zaman Rasulullah s.a.w.? Apakah Rasulullah s.a.w. sendiri juga pernah bertaruh? Maka jawab Anas:

"Ya! Demi Allah, sungguh ia (Rasulullah s.a.w.) pernah bertaruh terhadap suatu kuda yang disebut sabhah (kuda pacuan), maka dia dapat mengalahkan orang lain, ia sangat tangkas dalam hal itu dan mengherankannya." (Riwayat Ahmad)

Taruhan yang dibenarkan, atau yang dimaksud di sini ialah suatu upah (hadiah) yang dikumpulkan bukan dari orang-orang yang berpacu saja atau dari salah satunya saja, tetapi dari orang-orang lainnya.

Adapun hadiah yang dikumpulkan dari masing-masing yang berpacu, kemudian siapa yang unggul itulah yang mengambilnya, maka hadiah semacam itu termasuk judi yang dilarang. Dan Nabi sendiri menamakan pacuan kuda semacam ini, yakni yang disediakan untuk berjudi, dinamakan Kuda Syaitan. Harganya adalah haram, makanannya haram dan menungganginya pun haram juga. (Riwayat Ahmad).

Dan ia bersabda:

"Kuda itu ada tiga macam: kuda Allah, kuda manusia dan kuda syaitan. Adapun kuda Allah ialah kuda yang disediakan untuk berperang di jalan Allah, maka makanannya, kotorannya, kencingnya dan apanya saja - mempunyai beberapa kebaikan. Adapun kuda syaitan, yaitu kuda yang dipakai untuk berjudi atau untuk dibuat pertaruhan, dan adapun kuda manusia, yaitu kuda yang diikat oleh manusia, ia mengharapkan perutnya (hasilnya), sebagai usaha untuk menutupi kebutuhannya. (Riwayat Bukhari dan Muslim)


4.3.4.6 Berburu

Hiburan/permainan yang bermanfaat; yang juga dibenarkan oleh Islam, ialah berburu.

Berburu itu sendiri pada hakikatnya adalah bersenang-senang, olahraga dan bekerja, baik dengan menggunakan alat seperti tombak dan panah, atau dengan melepaskan binatang berburu seperti anjing dan burung.

Tentang syarat dan tata-tertibnya telah kami sebutkan sesuai yang dituntut oleh Islam.

Islam tidak melarang berburu kecuali dalam dua hal:

a) Ketika ihram haji dan umrah. Sebab dalam keadaan demikian adalah dalam face damai secara menyeluruh, tidak boleh membunuh dan mengalirkan darah.

Firman Allah:

"Hai orang-orang yang beriman! Jangan kamu membunuh binatang buronan, padahal kamu sedang ihram." (al-Maidah: 95)

"Dan diharamkan atas kamu berburu binatang darat, selama kamu dalam keadaan ihram." (al-Maidah: 96)

b) Ketika berada di tanah haram Makkah, sebab tempat ini dijadikan Allah sebagai tempat perdamaian dan keamanan bagi semua makhluk hidup, yang berjalan di darat atau yang terbang di udara; ataupun tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di tempat itu. Seperti apa yang ditegaskan oleh Rasulullah s.a.w. dalam sabdanya:

"Tidak boleh diburu binatang buronannya, dan tidak boleh dipotong pohon-pohonnya dan tidak boleh dicabut rumput-rumputnya." (Riwayat Bukhari dan Muslim)

4.3.4.7 Main Dadu

Seluruh permainan yang di dalamnya ada perjudian, hukumnya haram. Sedang apa yang dinamakan judi, yaitu semua permainan yang mengandung untung-rugi bagi si pemain. Dan itulah yang disebut maisir dalam al-Quran yang kemudian diikuti dengan menyebut: arak, berhala dan azlam.

Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:

"Barangsiapa mengajak kawannya: mari berjudi! Maka hendaklah bersedekah." (Riwayat Bukhari dan Muslim)

Maksudnya: bahwa semata-mata mengajak bermain judi sudah termasuk berdosa yang harus ditebus dengan sedekah. Di antaranya ialah permainan dadu yang apabila dibarengi dengan perjudian, maka hukumannya adalah haram, dengan kesepakatan para ulama.

Tetapi apabila tidak dibarengi dengan perjudian, maka sementara ulama ada yang memandang haram, dan sebagian lagi memandang makruh.

Alasan yang dipakai oleh yang mengharamkannya, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Buraidah, bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda:

"Barangsiapa bermain dadu, maka seolah-olah dia mencelupkan tangannya dalam daging babi dan darahnya." (Riwayat Muslim dan lain-lain)

Dan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Musa dari Rasulullah s.a.w. bahwa ia berkata:

"Barangsiapa bermain dadu, maka sungguh dia durhaka kepada Allah dan RasulNya." (Riwayat Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah dan Malik)

Dua hadis tersebut cukup jelas dan bersifat umum, berlaku untuk semua orang yang bermain dadu, apakah dibarengi dengan judi ataupun tidak.

Tetapi asy-Syaukani meriwayatkan, bahwa Ibnu Mughaffal dan al-Musayyib membolehkan bermain dadu tanpa judi. Sedang kedua hadis tersebut diperuntukkan buat orang yang bermain dadu sambil berjudi.
4.3.4.8 Main Catur

Di antara permainan yang sudah terkenal ialah catur.

Para ahli fiqih berbeda pendapat tentang memandang hukumnya, antara mubah, makruh dan haram.

Mereka yang mengharamkan beralasan dengan beberapa hadis Nabi s.a.w. Namun para pengkritik dan penyelidiknya menolak dan membatalkannya. Mereka menegaskan, bahwa permainan catur hanya mulai tumbuh di zaman sahabat. Oleh karena itu setiap hadis yang menerangkan tentang catur di zaman Nabi adalah hadis-hadis batil (dhaif).

Para sahabat sendiri berbeda dalam memandang masalah catur ini. Ibnu Umar menganggapnya sama dengan dadu. Sedang Ali memandangnya sama dengan judi. (Mungkin yang dimaksud, yaitu apabila dibarengi dengan judi). Sementara ada juga yang berpendapat makruh.

Dan di antara sahabat dan tabi'in ada juga yang menganggapnya mubah. Di antara mereka itu ialah: Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Ibnu Sirin, Hisyam bin 'Urwah, Said bin Musayyib dan Said bin Jubair.

Inilah pendapat orang-orang kenamaan dan begitu jugalah pendapat saya. Sebab menurut hukum asal, sebagaimana telah kita ketahui, adalah mubah. Sedang dalam hal ini tidak ada satu nas tegas yang menerangkan tentang haramnya. Dan pada catur itu sendiri melebihi permainan dan hiburan biasa. Di dalamnya terdapat semacam olah raga otak dan mendidik berfikir. Oleh karena itu tidak dapat disamakan dengan dadu. Dan justru itu pula mereka mengatakan: yang menjadi ciri daripada dadu ialah untung-untungan (spekulasi), jadi sama dengan azlam. Sedang yang menjadi ciri dalam permainan catur ialah kecerdasan dan latihan, jadi sama dengan lomba memanah.

Namun tentang kebolehannya ini dipersyaratkan dengan tiga syarat:

1. Karena bermain catur, tidak boleh menunda-nunda sembahyang, sebab perbuatan yang paling bahaya ialah mencuri waktu.
2. Tidak boleh dicampuri perjudian.
3. Ketika bermain, lidah harus dijaga dari omong kotor, cabul dan omongan-omongan yang rendah.

Kalau ketiga syarat ini tidak dapat dipenuhinya, maka dapat dihukumi haram.



Halal dan Haram dalam Islam
Oleh Syekh Muhammad Yusuf Qardhawi
Alih bahasa: H. Mu'ammal Hamidy
Penerbit: PT. Bina Ilmu, 1993

Read More......
template by kendhin
please visit jadipebisnisinternet